Sejenak kita bernostalgia setiap perayaan Natal 25 Desember. Tentang peristiwa kemanusiaan yang hingga kini tidak hilang dari ingatan. Peristiwa langka yang tidak mustahil hanya terjadi sekali dalam sejarah perjalanan bangsa menyulam nilai toleransi.
Bagi yang lahir di atas tahun 2000, mungkin tidak sempat mengenal sosok ini, hanya berdasarkan cerita, berita atau catatan sejarah.
Namanya Riyanto, lahir di Kediri, Jawa Timur pada 19 Oktober 1975 dari pasangan suami-istri Sukarmin dan Katinem. Riyanto merupakan anak sulung dari tujuh bersaudara salah satu kader aktif Banser NU di Mojokerto. Sukarmin sendiri sehari-hari bekerja sebagai tukang becak demi menghidupi ke 7 anaknya. Sebagai anak tertua, Riyanto ikut membantu ayahnya, bekerja menimbang kedelai di koperasi, di desanya Prajurit Kulon Mojokerto.
Minggu 24 Desember 2000 menjadi hari paling dramatis di kota Mojokerto Jawa Timur. Saat itu gereja Eben Haezer menjadi sasaran bom yang dilakukan kelompok teroris Ali Imron cs. 2 buah bungkusan berisi bom yang diketakkan di dalam dan di luar meledak dalam waktu berbeda hitungan menit. Korbannya saat itu 1 orang tewas dan 14 orang luka berat dan ringan.
Riyanto yang pada saat itu mendapat tugas dari Pengurus Banser untuk menjaga Gereja, menjadi satu satunya korban tewas. Bukan karena bom meledak di dekatnya, tetapi dia memeluk bungkusan yang dicurigainya sebagai bom, berlari keluar menuju gorong gorong berniat membuangnya. Namun takdir tidak selamanya bersanding dengan niat baik. Bom meledak dalam dekapan Riyanto sebelum sempat dibuangnya.
Bungkusan mencurigakan yang sebelumnya berada di Gereja saat penuh umat Nasrani melakukan missa Natal. Dan berhamburanlah mereka keluar gereja tak berselang lama setelah tubuh Riyanto berhamburan. Dalam kepanikan yang histeris, bungkusan mencurigakan lain ditemukan di kolong tempat duduk. Personil Banser lain bersama pengurus gereja segera meletakkannya menjauh dari suasana kepanikan. Maka dentuman dahsyat kedua meledak bercampur paku yang sempat mengenai beberapa orang di sekitarnya.
Pengorbanan nyawa seorang Riyanto menjadi catatan sejarah tentang mahalnya sebuah intoleransi. Riyanto bukan sekedar korban, tetapi lebih tepat dikatakan sebagai pahlawan demi menghindari korban lainnya. Dia yang terpilih menjadi orang paling berjasa dalam tragedi kemanusiaan. Mencoba merasakan apa yang dipikirkan Riyanto pada saat meyakini benda yang ditemukannya adalah bom. Tidak sampai hitungan menit waktu yang dibutuhkan Riyanto untuk memutuskan akan melarikan diri atau membawa bom itu menjauh dari orang-orang. Keberanian dan tanggung jawab Riyanto pada kemanusiaan berhasil mengalahkan ketakutannya akan kematian.
20 tahun berlalu, di tahun 2020 ini Riyanto tetap dikenang sebagai pahlawan. Pengorbanannya adalah kado abadi lintas agama. Kaum Nasrani mendapat hadiah nyata tentang nilai toleransi dari kaum Islam yang diwakili oleh Banser pemberani bernama Riyanto. Sebagai balasannya setiap tanggal 24 Desember kaum Nasrani menyisakan sebagian doanya untuk mengingatnya. Toleransi antar umat beragama bukan sekedar retorika. Riyanto memberi kita contoh bahwa saudara dalam kemanusiaan itu lebih tinggi daripada saudara se-Iman.
Entah memang sudah diatur atau tidak, sehari lalu kita menyaksikan Ketua Banser Yaqut Cholil Qoumas dipercaya Presiden Jokowi menjadi Menteri Agama. Sedikit ada harapan bagi seorang almarhum Riyanto yang meninggal masih dengan seragam Banser kebanggaannya. Menjadikannya Pahlawan Nasional bukalah sebuah kemustahilan.
Dalam kalimat idiom Jawa Timuran : "Riyanto iku kadermu, cuk. Yo'opo sampeyan wis dadi Menteri Agama gak iso ngusaha'no Riyanto dadi Pahlawan Nasional tah?"
Sebagian dari kita setuju Riyanto suatu saat bisa tercatat sebagai Pahlawan Nasional. Bukan pahlawan yang gugur berperang melawan penjajah, tapi Pahlawan Toleransi dan Pluralisme yang menjaga kerukunan umat. Riyanto secara tidak langsung membuktikan bahwa teroris yang menyerang non muslim itu bukan Islam. Sebenar benarnya Islam yang mayoritas itu melindungi yang minoritas, bukan memeranginya.
Riyanto yang Banser asli Islam itu setiap tahun berlimpah didoakan oleh kaum Nasrani sebagai ungkapan terima kasih. Gelar Kepahlawanan adalah pengakuan tertinggi sebuah negara atas jasa besar yang pernah dilakukannya. Jika negara tidak melakukannya, berarti pengakuan Pahlawan itu biar kami dan kaum Nasrani yang mencatatnya dalam hati.
Pengakuan kami tentang toleransi yang sudah dalam praktek, tidak sekedar nempel di jidat( RED)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar