Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

𝐈𝐃𝐄𝐍𝐓𝐈𝐓𝐀𝐒 𝐌𝐀𝐍𝐔𝐒𝐈𝐀 𝐁𝐀𝐋𝐈 𝐃𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐏𝐞𝐫𝐬𝐩𝐞𝐤𝐭𝐢𝐟 𝐀𝐝𝐚𝐭,𝐀𝐠𝐚𝐦𝐚 𝐃𝐚𝐧 𝐁𝐮𝐝𝐚𝐲𝐚

Jumat, 20 November 2020 | November 20, 2020 WIB | 0 Views Last Updated 2020-11-19T16:58:08Z



𝑶𝒍𝒆𝒉 :Ida Bagus Gunadha
𝐉𝐮𝐦𝐚𝐭 20 𝐍𝐨𝐯𝐞𝐦𝐛𝐞𝐫 2020


𝐃𝐄𝐍𝐏𝐀𝐒𝐀𝐑,𝐈𝐍𝐓𝐄𝐋𝐌𝐄𝐃𝐈𝐀𝐁𝐀𝐋𝐈 .𝐈𝐃-Bali adalah sebuah pulau kecil dengan luas wilayah 5.632,86 km² dan dihuni lebih-kurang tiga juta orang penduduk. Berbeda dengan pulau lainnya di Indonesia, Bali tidak memiliki kekayaan alam yang melimpah sehingga dari segi ekonomi Bali ini tidak memiliki daya tawar yang tinggi di tingkat nasional. Demikian halnya dalam bidang politik, jumlah pemilih Bali yang tidak lebih dari tiga juta jiwa dengan sembilan wakil rakyat di DPR dan empat orang anggota DPD, bukanlah jumlah yang signifikan untuk dapat mempengaruhi situasi perpolitikan nasional. Akan tetapi, Bali dengan keindahan alam dan budayanya menjadikannya sebagai pusat perhatian dunia. Ibarat pepatah mengatakan ”kandik ulung di natah sing ada nak ningeh, kewale jaum ulung di peken Badung pedingehan kanti ke Australia” (Kapak jatuh di halaman rumah tiada yang mendengar, tetapi jarum jatuh di Pasar Badung suaranya terdengar sampai di Australia).

Sebagai sebuah pulau kecil, lukisan alam Bali tampak begitu mempesona sehingga menjadi arena perburuan para penikmat keindahan. Laut, gunung, sungai, danau, hutan, sawah, dan ladang menghiasi Bali dan merajut sebuah simfoni alam yang indah dan eksotik. Lukisan alam ini semakin dipercantik oleh warna-warni kehidupan sosial-budaya masyarakat Bali yang dipenuhi dengan ritual-ritual untuk mengharmoniskan kehidupan mereka dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam lingkungannya. Oleh karena itu, berbagai julukan yang diberikan kepada Bali seperti pulau surga (the paradise island), pulau seribu pura (the island with thousand temple), pulau dewata (the Gods island), atau paginya dunia (the morning of the wolrd), tampaknya bukan sesuatu yang berlebihan.

Namun demikian, fenomena belakangan ini menunjukkan bahwa Bali telah berubah. Wajah Bali masa kini tidak lagi secantik Bali tempoe doeloe. Sebuah kejutan ditulis oleh Bawa Atmadja (2005) bahwa Bali pulau seribu pura sudah tak seindah penampilannya. Sementara bangunan-bangunan suci berdiri dengan megahnya, ritual keagamaan yang semakin marak, serta tingginya intensitas ceramah keagamaan, di sisi lain kafe remang-remang, prostitusi ilegal, dan tindakan kriminalitas lainnya juga semakin menjamur. Wajah Bali yang dahulu dilukis dengan religiusitas, keramah-tamahan masyarakat, dan pesona alaminya, kini mulai menampakkan sisi gelapnya seiring berjalannya waktu. Lebih celaka lagi, fenomena paradoks tersebut hadir dalam satu wilayah yang sama, yakni desa pakraman. Padahal, desa pakraman merupakan wadah berlangsungnya segala aktivitas adat, budaya, dan agama masyarakat Bali yang dijiwai oleh nilai-nilaiagamaHindu.

Fenomena di atas menunjukkan manusia Bali dewasa ini sedang mengalami kegamangan dan kebingungan di tengah gelombang perubahan yang berlangsung begitu cepat dan rumit. Daya tahan kebudayaan pun makin rapuh di tengah kuatnya terjangan globalisasi dan modernisasi. Identitas Bali secara kultural menjadi makin kabur di tengah benturan kebudayaan global. Memang tak dapat dipungkiri bahwa globalisasi dan modernisasi telah menghegemoni dan mendominasi dunia sehingga tidak ada satu bangsa pun yang dapat menolaknya. Sebagaimana telah diramalkan oleh Francis Fukuyama dalam The End of History And The Last Man (2002) bahwa ideologi kapitalisme dan demokrasi liberal yang menjadi pemenang dalam perang dingin akan menjadi akhir dari sejarah manusia. Oleh karena itu, kebertahanan budaya Bali saat ini tergantung pada kesiapan orang Bali dalam menyikapi globalisasi dan modernisasi.

Tantangan masyarakat Bali dalam menangkal pengaruh negatif budaya global dewasa ini memang semakin berat, terutama jika dikaitkan dengan pengembangan industri pariwisata Bali. Budaya global yang antara lain ditandai dengan terbukanya akses pergaulan antaretnik dan antarbangsa, serta tingginya mobilitas penduduk mengakibatkan masuknya berbagai macam kebudayaan asing ke Bali. Malahan, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sebagian orang Bali lebih tertarik dan justru ngotot mengadopsi budaya dari luar. Sistem nilai budaya dari luar, bahkan dipakai sebagai ukuran untuk menggeser budayanya sendiri yang telah diwariskan oleh leluhur. Ini merupakan persoalan yang dilematis karena di satu sisi sektor pariwisata telah menjadi primadona dan tulang-punggung perekonomian Bali, sebaliknya budaya tourism menawarkan berbagai ekses negatif yang secara laten dapat meruntuhkan sendi-sendi kebudayaan Bali. Oleh karena itu, faktor kemanusiaan dan entitas budaya lokal tidak dapat diabaikan dalam pengembangan kepariwisataan di Bali. Dengan kata lain kehidupan masyarakat Bali tidak boleh tercerabut dari akar budayanya hanya karena penekanan segi komersial dari kepariwisataan (tourism).

Pada dasarnya, uraian di atas menunjukkan bahwa masyarakat Bali sesungguhnya tengah mengalami ketegangan sosio-budaya yang disebabkan oleh terbukanya pergaulan antaretnis, bangsa, sosial, politik, budaya, dan agama. Ketegangan semakin memuncak ketika masyarakat lokal semakin terpinggirkan dengan semakin derasnya arus pendatang. Kekalahan penduduk lokal ini sekaligus menjadi indikator perubahan karakter orang Bali sebagai berikut. Pertama, akibat ketidaksiapan dan ketidakmampuan penduduk lokal dalam bersaing dengan pendatang (new comers), terutama dalam perebutan sektor-sektor ekonomi. Kedua, persaingan dan pemilahan antara penduduk asli (pribumi) dan pendatang melalui katagorisasi beroposisi (binary opposition) telah membentuk karakter orang yang penuh dengan perasaan curiga, terlebih-lebih lagi sikap itu dijustifikasi melalui simbol-simbol kultural. Ketiga, perubahan karakter orang Bali juga dipengaruhi oleh proses moneterisasi. Keempat, banyak institusi sosial dan kultural mulai tidak mampu memerankan fungsi-fungsi manifes, justru cenderung hanya menjadi media untuk menghidupkan “keagungan fisikal masa lalu”. Dan kelima, sekalipun wacana mengenai pentingnya kebudayaan sebagai “panglima” pembangunan Bali, tetapi dalam implementasinya alokasi biaya untuk bidang ini belum sesuai dengan wacana dan harapan (Triguna, 2004:11). Di samping faktor eksternal tersebut, perubahan karakter orang Bali juga disebabkan oleh dorongan internal yang senantiasa ingin berubah. Sebagaimana ungkapan orang bijak bahwa yang hakiki adalah perubahan itu sendiri.
Dalam menghadapi guncangan perubahan yang begitu cepat dan hebat, maka orang Bali harus menemukan kembali identitas dirinya untuk membangun pijakan budaya yang kuat. Tuntutan penguatan budaya itu, bahkan kini semakin relevan di tengah guncangan globalisasi. Tanpa penguatan kebudayaan, orang Bali akan kehilangan kekuatan untuk mempertahankan jati dirinya dalam menghadapi penetrasi budaya global yang begitu ganas. Sementara itu, budaya tidaklah statis, tetapi dinamis dan terbuka untuk perubahan sesuai dengan kebutuhan perkembangan zaman. Nilai-nilai yang baik dari luar dapat saja dan perlu diadopsi sesuai dengan sistem nilai budaya Bali.

2. Historis Membentuk Identitas Kebudayaan Bali
Kebudayaan Bali sekarang ini merupakan buah dari proses historis yang cukup panjang. Pelacakan terhadap sejarah kebudayaan Bali dari data arkeologis menunjukkan bahwa manusia Bali telah mengembangkan kebudayaannya sejak zaman prasejarah, yakni masa meramu, berburu, bercocok tanam, dan puncaknya terjadi pada masa perundagian. Masa perundagian ditandai dengan mulai munculnya sistem hidup berkelompok, serta munculnya kepercayaan dan konsep-konsep keagamaan yang sifatnya religius-magis. Keyakinan terhadap adanya hidup setelah kematian, adanya roh leluhur, dan gunung sebagai alam arwah merupakan bentuk-bentuk religi asli Bali di masa itu. Kepercayaan masyarakat primitif yang berkarakter religius-magis menjadi medan yang memungkinkan terjadinya dialog dengan agama Hindu yang datang dari India (Ardhana dalam Ayatrohaedi, 1986).
Namun demikian, perubahan besar dalam kebudayaan Bali boleh dikatakan terjadi setelah adanya kontak antara kebudayaan lokal dengan agama Hindu yang sekaligus membawa Bali ke zaman sejarah. Dalam hubungan antara dua kebudayaan ini, tampaknya masyarakat Bali cukup selektif dan kritis sehingga memungkinkan terjadinya sebuah dialog. Proses dialogis yang terjadi melahirkan bentuk agama Hindu Bali yang unik dan khas dengan karakter-karakter lokal, serta membedakannya dengan agama Hindu di tanah kelahirannya, India. Kemampuan kebudayaan lokal untuk beradaptasi dengan kebudayaan luar inilah yang kemudian dikenal dengan istilah local genious. Istilah ini untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Quarich Wales untuk menjelaskan kemampuan kebudayaan setempat dalam menghadapi pengaruh kebudayaan asing pada waktu kedua kebudayaan itu berhubungan (Magetsari, 1986:56). Uraian ini menegaskan bahwa manusia Bali sesungguhnya memiliki karakter yang kuat ketika berhadapan dengan kebudayaan asing sehingga eksistensi budaya lokal tetap dapat dipertahankan.
Dalam perkembangan selanjutnya kebudayaan Bali terus-menerus berproses secara dialektis dan transformatif sehingga menampilkan bentuk kebudayaan Bali seperti sekarang ini. Hal ini sejalan dengan pendapat Swellengrebel (1960) bahwa kebudayaan Bali dibentuk oleh unsur-unsur tradisi kecil, tradisi besar, dan tradisi modern. Tradisi kecil, yaitu tradisi yang berorientasi pada kebudayaan lokal mempunyai ciri-ciri, antara lain sistem ekonomi sawah dengan irigasi; kerajinan meliputi besi, perunggu, celup, dan tenun; pada pura terdapat sistem ritual dan upacara keagamaan yang sangat kompleks; tari dan tabuh dipakai dalam rangka upacara di pura. Tradisi besar, yaitu tradisi yang berorientasi pada agama dan kebudayaan Hindu dalam kehidupan masyarakat Bali menampakkan ciri-ciri, antara lain kekuasaan yang pusat kedudukannya adalah raja sebagai keturunan Dewa; adanya tokoh pedanda; adanya upacara pembakaran mayat (ngaben) bagi orang yang meninggal; adanya sistem kalender Hindu-Jawa; pertunjukkan wayang kulit, dll (Geria, 2000:48). Sementara itu, tradisi modern, yaitu tradisi yang mencakup unsur-unsur yang berkembang sejak zaman penjajahan, zaman kemerdekaan, sampai dengan era globalisasi sekarang ini. Ciri-cirinya, antara lain pendidikan massal; sistem agama dirasionalisasi, terkoordinasi, dan terkomunikasikan ke dalam maupun keluar, kerajinan bersifat produksi massal; adanya orientasi ke depan yang diintrodusir oleh berbagai departemen, dll. (Mc. Kean dalam Geria, 2000). Dari proses tersebut dapat dipahami bahwa interaksi antara tradisi kecil dan tradisi besar membuahkan kebudayaan Bali tradisional yang bercirikan budaya ekspresif dengan dominannya nilai-nilai religius, estetika, dan solidaritas. Sebaliknya, pertemuan kebudayaan Bali tradisional dengan tradisi modern ditandai dengan terintegrasinya nilai-nilai modern dalam kebudayaan Bali, seperti rasionalisasi dan komersialisasi budaya.
Sejarah juga menunjukkan bahwa masyarakat Bali adalah masyarakat yang terbuka dalam menerima kehadiran etnik lain. Hubungan antara Bali dan masyarakat luar, baik melalui hubungan politik maupun ekonomi atau perdagangan di masa lampau telah menjadikan masyarakat Bali sebagai masyarakat multietnik. Ini menyebabkan masyarakat Bali saat ini bukan lagi masyarakat yang homogen, melainkan masyarakat yang heterogen. Malahan, heterogenitas tersebut merambah hampir semua lini kehidupan masyarakat meliputi bidang ekonomi, agama, sosial-budaya, dan sebagainya.
Meskipun etnik Bali (beragama Hindu) merupakan kelompok etnik dominan, tetapi dalam kenyataannya memberikan ruang gerak dan kebebasan kepada etnik lain sebagai etnik minoritas untuk mengembangkan kebudayaannya. Hal ini tampak dari rasa persaudaraan yang terjadi antaretnik yang didasari oleh nilai-nilai kearifan lokal budaya Bali. Walaupun diberikan kebebasan dalam mengembangkan kebudayaannya kelompok etnik minoritas tampaknya juga menyesuaikan diri dengan budaya dominan (Bali). Hal ini tampak dalam membuat bangunan tempat suci, seperti mesjid dengan mengadopsi unsur budaya Hindu arsitektur Bali yang tampak dari atap mesjid bertumpang satu (Stutterheim, 1927:114; Pijper, 1947:275-276). Di berbagai wilayah di Bali etnik pendatang menjadi anggota sekaa subak, bahkan ada yang menjadi pengurus. Hubungan antaretnis yang menunjukkan adanya saling menghargai di antara kelompok-kelompok etnik bahkan sudah terjadi jauh sebelumnya. Hal ini dapat dibuktikan di Pura Batur Kintamani, Bangli. Di pura ini disamping menjadi tempat pemujaan dari etnik Bali yang beragama Hindu, di lingkungan pura juga terdapat tempat pemujaan bagi kelompok etnik keturunan Cina. Istilah Ciwa-Budha yang dikenal dalam masyarakat Bali juga menjadi bukti adanya perpaduan antara agama-agama yang pernah berpengaruh di Bali di masa yang lampau.
Kedatangan etnis lain di Bali, baik yang tetap mempertahankan identitas kelompoknya maupun yang mengadopsi kebudayaan Bali dapat beradaptasi dan berintegrasi dalam kehidupan masyarakat Bali yang mayoritas. Dengan demikian, hubungan antaretnis menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas manusia Bali, baik secara individu maupun kolektif, yakni manusia Bali yang mempunyai sifat permisif dan toleran terhadap agama dan kebudayaan lain serta mampu hidup bersama dalam keberagaman.
Melihat perjalan sejarah tersebut, kebudayaan Bali sekarang ini merupakan hasil dari pertemuan antarbudaya yang terjadi secara dialogis-transformatif, yakni antara kebudayaan lokal dan kebudayaan asing yang datang belakangan. Dominannya nilai-nilai religius, estetis, dan solidaritas dalam kebudayaan Bali tradisional selama berabad-abad telah membentuk karakter manusia Bali. Nilai tersebut diekspresikan dalam pelaksanaan ajaran agama Hindu yang didasari oleh tattwa-susila-acara, dalam aktivitas berkesenian, dan tingginya rasa persaudaraan dalam konteks panyama-brayan. Ketiganya hidup subur dalam aktivitas di desa pakraman.

3. Menemukan Identitas Manusia Bali Dalam Desa Pakraman
Identitas berarti ciri-ciri, sifat-sifat khas yang melekat pada sesuatu sehingga menunjukkan suatu keunikkannya serta membedakannya dengan sesuatu yang lain. Terkait dengan kebudayaan, identitas merupakan ekspresi eksistensi budaya suatu kelompok. Identitas etnik misalnya, dapat ditentukan oleh faktor-faktor material budaya, seperti makanan, pakaian, perumahan, peralatan, dan faktor-faktor nonmaterial seperti bahasa, adat istiadat, kepercayaan, cara berpikir, sikap, dan lain-lain (Liliweri, 2005:48). Akan tetapi, identitas budaya tidak datang sendiri, melainkan dibentuk atau dibangun oleh sebuah interaksi dinamis antara konteks (dan sejarah) dan construct. Oleh karena itu, sifatnya situasional dan bisa berubah, disusun dalam hubungannya dengan sejumlah other (Maunati, 2004). Mengikuti definisi ini, maka identitas dibentuk atau dibangun melalui sebuah proses yang terus-menerus menjadi. Selanjutnya, identitas menentukan keberbedaan suatu kelompok dengan kelompok lainnya dalam suatu masyarakat yang multikultur.

Namun demikian merumuskan identitas manusia tidak lebih mudah daripada merumuskan identitas kelompok, mengingat manusia adalah makhluk yang multidimensional, paradoksal dan monopluralistik. Oleh karena itu, identitas manusia harus dilihat dari kesalinghubungan antara manusia yang multidimensional, paradoksal dan monopluralistik dengan nilai-nilai yang dianut atau pedoman hidupnya. Pada akhirnya identitas manusia, baik secara individu maupun kolektif ditentukan oleh adanya perpaduan antara keunikan-keunikan yang ada pada dirinya dengan implementasi nilai-nilai yang dianutnya dalam sikap dan perilaku kehidupannya. Apabila nilai adalah inti dari kebudayaan yang diekspresikan dalam sistem tindakan dan artefak-artefak budaya, maka identitas manusia berhubungan erat dengan identitas kebudayaannya. Dengan demikian identitas manusia Bali harus dibahas dalam kerangka psikologis-kulturalis, yakni bagaimana kebudayaan Bali menjadi spirit sekaligus menjadi pedoman sikap dan perilaku orang Bali dalam kehidupannya, baik sebagai individu maupun kelompok.
Manusia Bali, dalam hal ini bukanlah setiap orang yang dilahirkan, dibesarkan, atau berdomisili di Bali; bukan juga orang yang menggunakan atribut-atribut kebudayaan Bali; yang dapat berbahasa Bali dengan fasih; juga bukan semua orang yang beragama Hindu. Identitas manusia Bali, justru dicerminkan dalam sikap dan perilaku kesehariannya, serta tata-caranya berinteraksi dalam masyarakat yang lebih luas. Di zaman global yang ditandai dengan tingginya mobilitas penduduk dan makin terbukanya interaksi lintas etnis, maka identitas manusia Bali tetap dapat dipertahankan dalam ruang dan waktu apapun. Komunitas migran di luar Bali misalnya, dengan jelas dapat dilihat identitas ke-Bali-annya jika mereka tetap melaksanakan budaya Bali dalam keseharian hidupnya. Sebaliknya, orang Bali yang tidak lagi menggunakan kebudayaan Bali sebagai panduan sikap dan perilakunya, maka ia telah kehilangan identitasnya sebagai manusia Bali.

Di atas telah diuraikan bahwa identitas manusia Bali dapat ditentukan dari cara seseorang mengekspresikan nilai budaya Bali dalam kehidupannya. Akan tetapi masih dibutuhkan kehati-hatian dalam merumuskan kebudayaan Bali yang dapat mewakili semua daerah yang ada di Bali. Mengingat budaya Bali di masing-masing daerah menunjukkan ciri-ciri yang bervariasi, unik, dan khas. Antropolog pada umumnya membedakan dua bentuk masyarakat Bali akibat kuat-lemahnya pengaruh kebudayaan Hindu-Jawa (Majapahit) pada zaman dahulu, yakni masyarakat Bali Aga dan Bali Majapahit (wong Majapahit).

Masyarakat Bali Aga adalah masyarakat yang kurang sekali mendapat pengaruh kebudayaan Hindu Jawa. Mereka umumnya tinggal di daerah pegunungan dalam kelompok-kelompok terpisah seperti masyarakat Tenganan (Karangasem), Trunyan (Bangli), Sembiran, Julah, Sidatapa, Pedawa, dan Tigawasa (Buleleng). Masyarakat kelompok ini juga menyebut diri sebagai masyarakat Bali Mula. Masyarakat Bali Aga yang tidak tunduk terhadap penguasa Majapahit cenderung mengisolir diri sehingga mereka menjadi kelompok masyarakat yang terpisah-pisah di antara masyarakat pendatang baru. Walaupun secara umum dikelompokkan dalam satu kelompok Bali Aga, mereka memiliki berbagai perbedaan, seperti sistem penguburan, ritual keagamaan, dan struktur kepemimpinan adat (Bagus dalam Koentjaraningrat,ed. 1988:286).
Sementara itu, orang Bali Majapahit merupakan bagian paling besar dari penduduk Bali dan pada umumnya menempati daerah-daerah dataran. Masyarakat ini hidup dalam ikatan desa pakraman yang dicirikan dengan adanya kahyangan tiga dan pengelompokan masyarakat dalam sistem kasta khas Bali, yakni tri wangsa dan jaba wangsa. Mengenai perbedaan antara masyarakat Bali Aga dan Bali Majapahit, setidak-tidaknya dapat juga dirujuk dari pendapat Liefrinck bahwa masyarakat Bali Aga mencirikan sebuah desa tradisional yang disebutnya “republik mikro”, yang bersifat demokratis, otonom, egaliter, dan memiliki sifat religius. Sementara itu, Bali Majapahit meskipun desa adatnya memiliki ciri yang serupa, tetapi pengaruh sistem kerajaan masih cukup kuat dalam kehidupan masyarakatnya misalnya, sistem puri-panjak, siwa-sisya, dan juga sor-singgih basa.
Meskipun terdapat perbedaan antara masyarakat Bali Aga dan Bali Majapahit, namun keduanya sama-sama terintegrasi dalam sebuah desa adat atau desa pakraman. Oleh karena itu, desa pakraman beserta nilai-nilai yang ada di dalamnya merupakan identitas kebudayaan Bali, yang dalam pelaksanaannya di masing-masing daerah memiliki perbedaan-perbedaan dalam kerangka desa-kala-patra. Kehidupan di Desa pakraman pada intinya mencakup upaya-upaya masyarakat untuk mendapatkan kebahagiaan (sukerta) melalui tiga hubungan harmonis, yakni dengan Tuhan (sukertaning parahyangan), dengan sesama manusia (sukertaning pawongan), dan dengan alam dan lingkungannya (sukertaning palemahan). Ketiga hubungan inilah yang sesungguhnya menjadi landasan kebudayaan Bali, sehingga manusia Bali dapat dirumuskan identitasnya sebagai manusia yang religius, menjunjung tinggi persaudaraan (panyamabrayan) dan kebersamaan (paras-paros, sagilik-salunglung sabayantaka), dan yang mencintai alam dan lingkungannya.

4. Agama Hindu Bali Sebagai Identitas Religius Manusia Bali
Irwan Abdullah (2006:107) menegaskan bahwa globalisasi yang ditandai oleh perbedaan-perbedaan dalam kehidupan telah mendorong pembentukan definisi baru tentang berbagai hal dan memunculkan praktik kehidupan yang beragam. Berbagai dimensi kehidupan mengalami redefinisi dan diferensiasi terjadi secara meluas yang menunjukkan sifat relatif suatu praktik sosial. Malahan cara-cara orang mempraktikkan agama juga mengalami perubahan, bukan karena agama mengalami proses kontekstualisasi sehingga agama melekat (embedded) di dalam masyarakat, tetapi juga karena budaya yang mengkontekstualisasikan agama itu merupakan budaya global dengan tata nilai yang berbeda. Dalam konteks ini khususnya dalam fenomena keberagamaan ditandai dengan adanya transformasi sistem pengetahuan, sistem nilai, sistem tindakan keagamaan.
Modernisasi dan globalisasi yang disemangati oleh kapitalisme dan liberalisme, menyebabkan setiap pemeluk agama bebas mendefinisikan agama sesuai dengan keinginannya. Oleh karena itu agama tidak lagi menjadi sumber nilai dan norma yang dibagi bersama sebagai pedoman perilaku kolektif dalam kehidupan sosial dan budaya. Melainkan keberagamaan lebih merupakan rekognisi agama melalui proses kontruksi, dekontruksi, rekontruksi yang lebih bersifat individual dalam penafsiran dan pemahaman secara terus-menerus. Ini menunjukkan bahwa dalam masyarakat kontemporer seorang individu atau kelompok dengan mudah dapat meracik agamanya berdasarkan pengetahuan keagamaannya. Agama telah menjadi urusan privat sehingga setiap individu dapat meninggalkan agama lama dan beralih ke bentuk-bentuk keagamaan baru untuk mengisi kekosongan rohaninya.
Fenomena keagamaan di Bali dewasa ini menunjukkan bermunculannya aliran-aliran yang menjadikan ”spiritualitas” sebagai tema sentralnya. Mulai dari aliran yang sifatnya lokal seperti Dharma Murti, Sandhi Murti, Cakra Naga Siwa Sampurna (yang menekankan mistis Bali: Kanda Pat), sampai aliran-aliran yang diadopsi dari luar Indonesia, misalnya Falun Dafa/Falun Gong, Sai Baba, Hare Krisna, Brahma Kumaris, Ananda Marga, dan lain sebagainya.
Aliran-aliran tersebut sebagian berintegrasi dengan keagamaan masyarakat lokal (baca: Hindu Bali), sebagian netral, dan sebagian lainnya ”menentang” agama lokal. Bentuk penentangan terhadap agama Hindu Bali dimunculkan dalam wacana-wacana misalnya, ”Hindu Bali tidak memiliki landasan spiritual yang kuat karena hanya mengutamakan banten”, ”Hindu Bali bertentangan dengan Weda”, atau ”Hindu Bali memberatkan masyarakat”. Ini artinya, Hindu Bali telah mengalami redefinisi yang beranekaragam sesuai dengan pengetahuan masing-masing individu. Malahan, tidak sedikit yang menyatakan bahwa agama Hindu Bali sudah tidak relevan lagi dengan keagamaan masyarakat modern yang menginginkan efektivitas, efisiensi, dan kemudahan-kemudahan lainnya. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila masyarakat yang tidak mampu berafiliasi ke agama Hindu Bali, mencari idola-idola spiritual baru yang dipandang dapat memenuhi kehausan religiusnya.
Bagi masyarakat Bali yang memeluk agama Hindu, maka India segera menjadi idola untuk memenuhi kehausan spiritual mereka karena secara faktual India adalah tempat lahirnya agama Hindu. Oleh karena itu setiap bentuk keagamaan apa pun yang bernuansa India segera mendapatkan tempat di hati umat Hindu di Bali. Akibatnya terjadi ”migrasi” keagamaan dari ”Hindu Bali” ke ”Hindu India”, dengan intensitas yang berbeda. Bagi sebagian masyarakat, Hindu Bali tetap dianut dan Hindu India menjadi pengisi kekosongan ruang rohani yang tidak didapatkannya selama ini. Sebaliknya, ada yang benar-benar meninggalkan cara-cara beragama Hindu Bali dan digantikan dengan bentuk keagamaan baru, misalnya dengan bhajan, agni hotra, dan lain sebagainya.
Masyarakat Bali pada dasarnya memang memiliki sikap terbuka terhadap masuknya kebudayaan-kebudayaan lain. Namun demikian, sejarah masuknya agama Hindu ke Bali pada masa silam menunjukkan hal yang sangat berbeda dengan fenomena masuknya sampradaya belakangan ini. Masuknya agama Hindu ke Bali pada masa lalu terjadi secara dialogis sehingga identitas budaya lokal tidak dihilangkan, melainkan dipermulia. Kepercayaan lokal seperti adanya kehidupan setelah kematian dipermulia dengan ajaran punarbhawa dalam agama Hindu. Oleh karena itu, agama Hindu hidup dan kebudayaan Bali menjadi dua fenomena dari satu realitas. Jalinan kedua fenomena tersebut sulit dipisahkan karena keduanya hadir bersamaan dalam sistem budaya masyarakat yang mentradisi dalam adat istiadat. Artinya, baik disadari maupun tidak Hindu telah menjadi identitas, bahkan kepribadian orang Bali yang menyebabkan kebudayaan Bali bertahan dalam berbagai gelombang pemikiran. Sebaliknya, masuknya sampradaya ke Bali justru menunjukkan bahwa orang Bali telah kehilangan jenius lokal yang selama ini menjadi filter bagi masuknya kebudayaan asing. Kebanggaan dalam menggunakan identitas Hindu India menjadi satu indikator bahwa orang Bali mulai mengalami kegamangan identitas keagamaannya.
Hindu Bali dimaksudkan di sini adalah agama Hindu yang dilaksanakan dalam koridor kebudayaan Bali. Di sini perlu ditegaskan bahwa dengan menggunakan kata ”Hindu”, maka Hindu Bali mengakui dan mengamalkan ajaran Catur Veda Samhita sebagai kitab suci. Hindu sebagai agama terdiri atas tiga kerangka dasar, tattwa, susila, dan acara. Tattwa merupakan landasan filosofis ajaran agama, yakni bersumber pada siwa-buddha tattwa; susila merupakan landasan dan pedoman moral meliputi ajaran tentang tingkah laku (nilai-nilai dan norma-norma moral); dan acara merupakan kebiasaan-kebiasaan dalam kehidupan beragama meliputi tradisi aktivitas-aktivitas hidup keagaman (upacara dan upakara). Ketiga kerangka ajaran tersebut tidak dapat dipisah-pisahkan dan secara riil dapat dilihat dalam aktivias keagamaan masyarakat Hindu Bali di wilayah desa pakraman. Dalam pengalaman empiris, agama Hindu Bali dilaksanakan dalam bentuk Panca Mahayadnya, yakni dewa yadnya, rsi yadnya, pitra yadnya, manusa yadnya, dan bhuta yadnya, baik sehari-hari (nitya karma) maupun secara insidental (naimitika karma).
Merujuk pada uraian di atas dapat dirumuskan ciri-ciri agama Hindu Bali yang sekaligus menjadi identitas religius manusia Bali antara lain, (1) bersumber pada siwa-buddha tatwa; (2) memiliki keterikatan dengan kahyangan tiga; (3) melaksanakan Panca Mahayadnya; (4) menggunakan upakara (banten) sesuai dengan tradisi yang bersumber pada kitab suci Hindu dan lontar-lontar yang ada di Bali; (5) dalam lingkup keluarga dicirikan dengan adanya sanggah atau kemulan; dan (6) menjadikan etika Hindu sebagai pedoman dalam bersikap dan berprilaku. Dengan demikian, agama Hindu Bali memiliki karakter khas yang membedakannya dengan agama Hindu di wilayah yang lain.
Dalam rangka membangun identitas dan jati diri manusia Bali, agama Hindu Bali penting untuk tetap dipertahankan eksistensinya dari gempuran budaya global. Mengingat secara eksistensial, keberadaan agama Hindu Bali tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan Bali itu sendiri. Menghilangnya eksistensi agama Hindu Bali maka dapat dipastikan kebudayaan Bali pun akan menghilang, mengingat hampir semua aktivitas kebudayaan Bali dikaitkan dengan aktivitas keagamaan dalam konsep ngayah. Agama Hindu Bali menjadi sistem nilai dan norma yang diimplementasikan dalam sistem tindakan dan sistem sosial, serta diwujudkan dalam bentuk material-material budaya yang agung dan mempesona. Bali tanpa desa pakraman, Bali yang tanpa pura, Bali yang tanpa yadnya, Bali yang telah hilang keramah-tamahan penduduknya, adalah sebuah kehilangan besar bagi masyarakat dunia.

5. Simpulan dan Rekomendasi
Dari perspektif adat, identitas manusia Bali adalah manusia yang kokoh dalam mempertahankan tradisi yang telah diwariskan oleh leluhur selama berabad-abad. Dari perspektif budaya, identitas manusia Bali adalah manusia yang aktif-kreatif dalam mencipta, memelihara, dan mengembangkan kebudayaannya sesuai dengan nilai-nilai agama Hindu dan mencerminkan sikap mempersembahkan yang terbaik. Dari perspektif agama, identitas manusia Bali adalah manusia yang menjadikan agama Hindu Bali sebagai identitas religiusnya.
Identitas manusia Bali dari perspektif adat, budaya, dan agama secara keseluruhan tercakup dalam kehidupan di desa pakraman. Manusia Bali, baik secara individu maupun kelompok adalah manusia yang religius, yang mengutamakan persaudaraan (panyamabrayan) dan kebersamaan dalam perbedaan (paras-paros sarpanaya, sagilik saguluk salunglung sabayantaka), terbuka dengan kehadiran orang/etnis lain, dan manusia yang menginginkan hidup serasi, selaras, dan seimbang dengan alam dan lingkungannya.
Agama Hindu dan kebudayaan Bali, merupakan kesatuan yang membentuk identitas manusia Bali. Namun demikian, gempuran budaya global yang serta merta berpengaruh pada perubahan orientasi masyarakat Bali menempatkan manusia Bali dalam kegamangan identitas. Oleh karena itu direkomendasikan beberapa alterrnatif untuk menggugah kembali kesadaran orang Bali terhadap identitas dirinya, sebagai berikut.
(1) Wacana Ajeg Bali sebagai wacana yang populer belakangan ini, harus mendapatkan maknanya sebagai upaya penguatan identitas diri manusia Bali. Di samping itu, Ajeg Bali harus mendapatkan makna praktisnya sebagai strategi kebertahanan masyarakat lokal terhadap masuknya kebudayaan asing, baik yang disebabkan oleh kepariwisataan atau derasnya arus pendatang. Oleh karena itu diperlukan keberanian masyarakat Bali untuk menjaga parahyangan, pawongan, dan palemahan Bali dari serbuan investor dan pertumbuhan penduduk urban. Tentunya dengan cara-cara yang diplomatik dan jauh dari kesan kekerasan.
(2) Dalam konteks keberagamaan, masuknya berbagai aliran keagamaan dari luar Bali perlu mendapatkan perhatian dari lembaga-lembaga berwenang dan juga pemerintah. Hal ini diperlukan agar kelompok-kelompok tersebut justru menghasilkan sesuatu yang kontraproduktif dalam masyarakat. Perlu ditegaskan kembali bahwa keberadaan desa pakraman di Bali telah cukup mapan sebagai wadah berlangsungnya aktivitas keagamaan Hindu Bali. Oleh karena itu, aktivitas keagamaan yang tidak dapat diterima oleh krama desa pakraman semestinya tidak diizinkan untuk memasuki wilayah desa pakraman.
(3) Pariwisata Bali tidak dapat dipungkiri telah menjadi tulang punggung perekonomian Bali. Akan tetapi perlu disadari kembali bahwa Bali tidak untuk dijual kepada pariwisata (Bali is not for tourism). Oleh karena itu, tidak semua keinginan wisatawan dipenuhi di Bali apabila itu bertentangan dengan nilai kebudayaan Bali. Maraknya kafe, diskotik, dan praktik-praktik prostitusi ilegal di kawasan pariwisata semakin mengaburkan arah kebijakan kepariwisataan Bali. Tetapkah Bali mengembangkan pariwisata budaya ?
(4) Kebudayaan sebagai pola pokok pembangunan Bali harus benar-benar dilaksanakan dalam tindakan nyata, yakni memberikan anggaran yang sesuai dengan kebutuhan pengembangan kebudayaan Bali. Polarisasi pembinaan kesenian kepada sekaa-sekaa khusus untuk tujuan promosi wisata, dapat menyebabkan sekaa-sekaa lokal di banjar-banjar kehilangan gairah untuk berkreasi. Oleh karena itu pemberdayaan seni-budaya Bali harus diarahkan untuk menggairahkan sekaa-sekaa tradisional.

Cakrawayu. ( 𝐑𝐄𝐃/ 𝐈𝐌𝐀𝐌)

Tidak ada komentar:

×
Berita Terbaru Update