Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Kalau Prajuru Desa Pakraman Kesurupan

Senin, 21 Desember 2020 | Desember 21, 2020 WIB | 0 Views Last Updated 2020-12-21T11:22:12Z



Oleh  I Wayan Sukarma
DENPASAR,INTELMEDIABALI.ID
Bumi mungkin akan hancur oleh kelalaian hukumnya sendiri misalnya, tabrakan dengan planet lain, kerusakan dalam perutnya (seperti semburan lumpur di Porong, Sidoarjo), sirnanya sinar matahari atau mungkin oleh kejahatan alam lainnya. Akan tetapi ini hanya kemungkinan yang sangat kecil, dibandingkan dengan kemungkinan yang ditimbulkan oleh kejahatan moral. Bumi akan musnah lebih besar kemungkinannya disebabkan oleh perbuatan manusia, bahkan kebodohannya yang memuncak pada kebingungan (sad ripu) dapat memusnahkan dirinya sendiri. Perbuatan immoral yang bercenderungan destruktif rupanya, lebih besar kemungkinannya disebabkan oleh kebingungan. Kebingungan yang membuat manusia mengalami frustasi berkepanjangan dalam kelahiran berulang-ulang. Malahan untuk meyakinkan Arjuna yang sedang kebingungan dan putus asa, Krishna harus memeras sebuah penjelasan tentang struktur keseluruhan jagad-raya dan kultur seluruh kehidupan menjadi tujuh ratus seloka. Artinya, keseluruhan struktur Bali dan seluruh kultur kehidupan manusia Bali akan musnah, lebih besar karena perbuatan orang Bali sendiri daripada bencana alam. Bali akan sirna, bila manusia Bali kebingungan dan putus asa.
Manusia bingung memilih antara ’yang benar’ dan ’yang salah’ atau antara ’yang baik’ dan ’yang buruk’, suatu kelaziman yang disodorkan dalam dunia sosial. Walaupun suatu kelaziman, melakukan penilaian moral memang bukan perkara mudah. ’Benar-salah’ ataupun ’baik-buruk’ bukanlah peristiwa ’hitam-putih’ karena relativitas dunia sosial tidak memutlakkan nilai. Dari sifat nilai inilah penyesatan logika dan permainan moral dimulai karena pengesahan etis memang melewati begitu banyak pertimbangan ’yang mesti’ dan ’yang harus’ diperhatikan. Pertimbangan berdasarkan dimensi Rasionalitas dan Moralitas ini mungkin merupakan kesulitan yang memaksanya kebingungan dan mendesaknya hingga putus asa. Kondisi ini dapat saja mendorongnya lebih mengikuti sifat liarnya (untuk melakukan pemutarbalikan logika dan moral) daripada kebebasannya (untuk mengakui agama, kebudayaan, hukum, tradisi sosial, dan adatnya). Dapat diduga, prajuru seperti ini yang lebih banyak dijumpai Windia sehingga menurutnya, ke depan diperlukan prajuru yang tidak pongah dan tidak bengkung (Bali Post, 13 Agustus 2009:hal.19). Mungkin dapat diusulkan, juga pada masa depan diperlukan prajuru yang tidak pangkah.
Prajuru pangkah biasanya, melakukan apa yang tidak dapat dilakukan (diskompetensi). Misalnya, bertindak menyimpang, bahkan melampaui kekuasaan, kewenangan, dan otoritas yang melekat pada kata ”prajuru”. Prajuru pongah umumnya, melakukan apa ’yang tidak semestinya’ dan ’yang tidak seharusnya’ dilakukan (immoral). Misalnya, berbuat menyimpang, bahkan bertentangan dengan spirit awig-awig dan pararem desa. Prajuru yang pangkah dan pongah inilah lazimnya bengkung, kira-kira ’tidak tahu diri’ alias ’tanpa kesadaran’ atau ’kesurupan’. Prajuru kesurupan akan (bengkung dengan pangkah dan pongah) memaksakan kehendak menggantikan kebebasan berpikir dengan kepatuhan membabibuta, menggantikan perkembangan moral dengan kebungkaman moral, bahkan menggantikan rasa kemanusiaan dengan arogansi dan keegoisan. Akibatnya, kondisi moralitas menjadi abnormal, dikoyak-koyak oleh kesalahpahaman, kebencian, dan perselisihan; bahkan kehidupan dipenuhi dengan suasana ketidakpastian, kecurigaan, dan ketakutan. Warga desa mengalami ketegangan mental, bahkan hidup dalam kecemasan dan kekecewaan. Akhirnya, desa pakraman pun berada dalam kondisi kesurupan, tidak ada lagi agama dan satu adat yang bisa diterima oleh semua warga desa. Boleh jadi, ini sandyakalaning keseluruhan struktur dan seluruh kultur kehidupan desa pakraman, bila tidak etis disebut pralaya.
Warga desa yang berpikir jernih tentu tidak membiarkan desa pakramannya ‘busuk’ hanya karena prajuru kesurupan yang ‘korup’ dalam merumuskan dan mempraktikkan awig-awig dan pararem desa. Mereka yang tafakur bisa merasakan desa pakraman yang ditinggalinya bukan sebuah kekeliruan dan kesangsian, tempat kebingunan dan putus asa. Melainkan arena damai bagi berseminya rasa kemanusiaan dan kesadaran ketuhanan, seperti pencapaian luhur generasi masa lalu. Pada masa depan desa pakraman lebih memerlukan prajuru berpengetahuan dan berkesadaran agama Hindu. Bukan hanya mengenai sradha dan bhakti, tetapi juga prajuru yang secara nyata mempraktikkan susila dalam perbuatannya. Prajuru susila menerima agama Hindu menjadi sistem keyakinan dan inti sistem nilai dalam rekontruksi sosial desa pakraman. Membiarkan dirinya disusup-lingkupi sradha-bhakti serta menerima susila menjadi pendorong dan pengontrol perbuatan dan tindakan warga desa. Merelakan agama Hindu menjadi orientasi dan motivasi kehidupan warga desa untuk membantu mereka mengenal dan menghayati sesuatu yang suci dan sakral. Melalui pengalaman keberagamaan dan penghayatan kepada Hyang Widhi, mereka memiliki kepekaan rasa untuk memahami indahnya mencintai sesama dan mengasihi sarwa prani. Cinta-kasih ini membangun visi mereka tentang keselamatan Jagad Bali dan selalu eling: “manusia menderita akibat dirinya sendiri”.

Cakrawayu

Tidak ada komentar:

×
Berita Terbaru Update