𝐃𝐞𝐧𝐩𝐚𝐬𝐚𝐫 𝐈𝐧𝐭𝐞𝐥𝐦𝐞𝐝𝐢𝐚𝐛𝐚𝐥𝐢 .𝐢𝐝 -KH.Badri-Masduqi bin Masduqi bin Miftahul Arifin.Beliau dilahirkan di pulau Garam tepatnya di Desa Prenduan Sumenep Madura, pd tanggal 1-Juni-1942. Banyak kesaksian yg mengatakan bahwa beliau sangat cerdas dan 'alim. Ketika mondok di pesantren Zainul Hasan Genggong Probolinggo mampu menghafal Alfiyyah 1000 bait dalam kurun 25 hari pada tahun 1950. Kemudian tahun 1956 melanjutkan ke pesantren Bata-Bata Pamekasan.1956-1959 beliau di pesantren Sidogiri Pasuruan .1959-1965 beliau di pesantren Nurul Jadid Paiton yaitu pondok Paman beliau.Ketika di Paiton beliau aktifis NU pemuda Anshar yg aktif menumpas PKI bahkan beliau menangkap Gembong PKI 5 orang yang ditaklukkan dengan tangan beliau sendiri beserta dokumen penting.Rektor IAI Ibrahimy Sukorejo Situbondo (KH.Moh.Hasan Basri Lc.)mengatakan KH.Badri Masduqi seorang Pejuang Tulen dan Faqih yg tangguh.
KH.Musthafa Bisri,,Pengasuh Ponpes Raudlatul Thalibin Rembang ,mengatakan "Saya kagum pd KH.Badri Masdhuqi beliau dikenal keberaniannya oleh banyak kalangan,dia jg tegar dan tegas dalam mengutarakan suatu pendapat apapun yg dia ketahui,pasti dia lakukan. Beliaulah yg mengatasi masa-masa sulit tarekat Tijani ketika mendapat tantangan berat ,seperti terbitnya kitab Fudhuhud dalail yg mendiskreditkan Tijani, beliau Buldoser Tijani. Pada tahun 1995 Khalifah Kabir dari Maroko Syeikh Idris bin Muhammad bin 'Abid al Husaini al 'Iraqi mengunjungi Syeikh Umar Baidlowi kemudian ke pesantren Blado, dari Ponpes Mambaul Ulum Maron (KH.Mas Mi'ad) Imaduddin).Ke Pondok pesantren Badridduja. Disana Syeikh Idris Al Iraqi mengkhatamkan kitab Munyatil Murid dan Mengukuhkan KH.Badri Mashduqi sebagai Khalifah Tijani Indonesia.
KH Badri Masduqi berpulang ke Rahmatullah Senin-pon 7-Sya'ban-1423 Hijriah/14-Oktober-2002
Kisah Karomah KH.Badri-Mashduqi Kraksaan-Probolinggo.
Sebelum Gestapu PKI meletus, KH.Badri Mashduqi yang kala itu nyantri di Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton di bawah asuhan KH.Zaini Mun’im, ia (Kiai Badri)—seketika mondok di Nurul Jadid, KH.Badri Mashduqi, akrab dipanggil dengan panggilan Bindere atau ada sebagian yang memanggilnya dengan panggilan Lora—diundang untuk mengisi sebuah pengajian, yang penyelenggaranya adalah Ranting NU Plampang, Kecamatan Paiton. Pengajiannya dilaksanakannya malam di Desa Plampang, Paiton.
Bindere Badri dijemputnya dari Pondok Pesantren Nurul Jadid dengan menggunakan sepeda onthel oleh Bapak Ahmad Misrani, selaku pengurus Ranting NU Plampang. Seketika Misrani sampai di Nurul Jadid, tiba-tiba hujan turun amat lebat. Jadinya, untuk menyampaikan kepada Bindere Badri, yang namanya Misrani sebelumnya agak ragu dan bimbang, sebabnya, hujan begitu lebatnya. Tapi mau bagaimana lagi karena acara pengajian ini sudah positif untuk segera dilaksanakan, dengan memberanikan diri, Misrani menghadap kepada Bindere Badri.
“Samangken baktonna pengajian neng Plampang, Bindre (Sekarang sudah waktunya pengajian di Plampang, Bindere),” beritahu Pak Misrani dengan gugup.
“Engghi tore langsung berangkat pon (Iya, marilah langsung berangkat!),” tegas Bindere Badri. Padahal ketika itu hujan turun belum reda dan bahkan masih amat lebat.
Gak pakai lama, berangkatlah keduanya (Pak Misrani bersama Bindere Badri) menuju tempat acara di Plampang. Pak Misrani yang menyetir sepedanya, sementara Bindere Badri berada di belakangnya.
Aneh bin ajaib tapi nyata. Perjalanan menggunakan sepeda onthel berdua, mulai berangkat dari Pondok Pesantren Nurul Jadid Tanjung sampailah di tempat acara (Desa Plampang), keduanya (Bindere Badri dan Pak Misrani) tak sedikitpun basah, padahal hujan begitu lebatnya.
Kiai Badri, ia memiliki karomah yang jarang dimiliki manusia biasa. Satu waktu ada santri datang ke rumahnya untuk minta barokah sebelum naik haji. "Tolong saya dibawakan daun korma," kata Kiai Badri. Tapi namanya haji di masa lalu belum mengenal naik pesawat. Orang yang naik haji terpaksa naik kapal. Dari berangkat hingga pulang bisa memakan waktu empat bulan. Maka ketika santri itu datang lagi membawa pesanan Pak Kiai, kondisi daun korma sudah mengering.
"Wah kok sudah kering," celetuk Kiai Badri. Lalu Kiai Badri masuk ke dalam kamarnya. Sesaat waktu kemudian, ia keluar sambil membawa daun korma yang masih segar dan masih ada getahnya. "Daun korma seperti ini dong," seloroh Kiai Badri yang membuat semua orang di ruang tamu itu kaget. Entah dari mana asal usul daun korma di kamar Kiai Badri yang jelas-jelas tak memiliki pohon korma.
Di kalangan santri, Kiai Badri memiliki keampuhan. Salah satu yang sering diceritakan adalah kemampuannya menghilang. Di masa penjajahan Belanda ia sering dikejar-kejar tentara. Sampailah satu waktu tertangkap dan dipenjara. Setiap malam Kiai Badri keluar dari penjara yang dijaga banyak tentara itu. Penjaga hanya mendapati sorban kiai masih teronggok di balik terali besi. Menjelang Shubuh Kiai Badri sudah ada di penjara lagi.
Pesan-pesan KH Badri-Masduqi
dalam hal WIRID, Istiqomah menurut Hadratus Syeh KH. Badri Masduqi adalah, مادام وان قل
( perbuatan/wirid yang dilakukan terus menerus walaupun sedikit). Beliau menjelaskannya begini, membaca Shalawat Fatih 1x setiap selesai Shalat dan dilakukan terus tanpa henti, nilainya masih lebih baik ketimbang membacanya 100x tapi hanya sekali.
Demikian pula dalam hal belajar. Seorang Santri/Pelajar lebih baik membaca kitab setiap hari walaupun hanya beberapa baris saja, dari pada membaca semalam suntuk karena besok ada ujian.
Selanjutnya beliau membagi ISTIQOMAH menjadi TIGA bagian : (1) ISTIQOMAH WAKTU (2) ISTIQOMAH TEMPAT dan ( 3) ISTIQOMAH JUMLAH.
ISTIQOMAH-WAKTU, artinya Wirid tertentu yang dilakukan Ba'da Subuh jam 6 misalnya, sebisa mungkin harus selalu dilakukan pada jam tersebut, tidak boleh pindah pada waktu yang lain kecuali sangat berhalangan.
ISTIQOMAH-TEMPAT, jika sesorang telah membiasakan diri melakukan Wirid-wirid tertentu di pojok Masjid sebelah kanan misalnya, maka wirid tersebut selamanya harus dilakukan pada tempat tersebut tidak boleh pindah ketempat yang lain terkecuali karena hal-hal tertentu yang menyebabkan dia harus pindah.
Demikian pula ISTIQOMAH-JUMLAH, wirid yang harus di baca 21x selamanya harus dibaca dengan jumlah tersebut. Tidak boleh lebih juga tidak boleh kurang.
Setiap santri yang menututi masa sehat beliau pasti mengakui, betapa kuatnya beliau menjaga 3-Prinsip Istiqomah tersebut di atas.
Ketika Shalat Jumat, posisi beliau pasti selalu dipojok sebelah kanan Masjid. Begitu pula ketika memberikan tausyiah ba'da Shalat Jumat, beliau selalu berada di sebelah kanan Mimbar. Ketika beliau mengajar Santri-santrinya tempat beliau duduk juga tidak pernah berubah. Bahkan warna Jubah dan Surban yang beliau kenakan, sepertinya juga tidak pernah berubah.
𝐃𝐞𝐧𝐩𝐚𝐬𝐚𝐫 18 / 11/ 2020
𝐈𝐦𝐚𝐦 𝐇𝐞𝐫𝐮 𝐃𝐚𝐫𝐦𝐚𝐰𝐚𝐧
Tidak ada komentar:
Posting Komentar