Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

π™ΌπšŽπš–πš‹πšŠπšŒπšŠ π™ΊπšŽπš–πš‹πšŠπš•πš’ π™ΏπšŽπš›πšŠπš— π™³πšŽπšœπšŠ π™ΏπšŠπš”πš›πšŠπš–πšŠπš—

Selasa, 10 November 2020 | November 10, 2020 WIB | 0 Views Last Updated 2020-11-10T08:45:10Z


π™³πšŽπš—πš™πšŠπšœπšŠπš› -π™Έπš—πšπšŽπš•πš–πšŽπšπš’πšŠπš‹πšŠπš•πš’
10 π™½πš˜πšŸπšŽπš–πš‹πšŽπš› 2020

 π™Ύπš•πšŽπš‘ :I Wayan Sukarma

Masyarakat perkotaan sebagaimana lazimnya penduduk kota-kota besar menunjukkan bentuk association (Cooley), gesellschaft (Tonnies) dengan solidarite organique (Durkheim). Artinya, hubungan antarorang didasarkan atas kontraktual, anonim, dan berazas-guna.

Model hubungan ini telah mendesak desa pakraman semakin terpinggirkan yang seharusnya menjadi basis sosial-religius masyarakat adat dan juga sekaligus menjalankan fungsi-fungsi lembaga agama. Hal ini setidak-tidaknya tergambar dari pandangan masyarakat bahwa lembaga adat dan lembaga agama bersifat buatan dan pimpinan lembaga, baik adat maupun agama dipilih berdasarkan wewenang dan hukum.

Kondisi masyarakat demikian menuntut agama bukan lagi sebagai yang mutlak mengatur manusia, melainkan agama dimungkinkan ‘diatur’ oleh kepentingan dan kebutuhan manusia. Manusia dalam kebutuhan dan kepentingannya mengatur agama agar sesuai dengan tuntutan hidup yang selalu berubah (misalnya, kesibukan, efisiensi, kemanusiaan, dan demokratisasi).

Oleh karena itu, manusia selalu melakukan pemahaman dan penafsiran (interpretative and understanding) terhadap agama yang sebelumnya terbungkus oleh berbagai simbol ekpresif, kognitif, evaluatif, dan konstruktif (Triguna, 2004:3).

Agama tidak lagi semata-mata hanya berhubungan dengan hal-hal yang bersifat dahsyat dan keramat yang berpusat pada hal-hal yang gaib (nominous), tetapi agama menjadi penting terutama dalam konteks situasi ketidakpastian dan ketidakberdayaan. Dalam keadaan seperti ini, agama menyediakan pandangan tentang dunia yang tidak terjangkau (beyond).

Oleh karena itu, deprivasi dan frustasi dapat dirasakan dan dialami sebagai hal yang bermakna pada diri manusia. Di samping itu, juga agama dirasakan sebagai sarana ritual yang memberi peluang terjalinnya 'hubungan' manusia dengan hal-hal yang berada di luar jangkauannya (Triguna, 2004:5).

Agama yang bersumber pada religiusitas merupakan cara untuk menyatakan dan mengungkapkan hubungan dengan Tuhan. Berkaitan dengan posisi agama, bahkan O'Dea (1992:13) secara rinci merumuskan enam fungsi agama dalam kehidupan masyarakat sebagai berikut.

(1) Agama menyediakan dan menjadi dukungan, pelipur lara, dan rekonsiliasi ketika manusia menghadapi ketidakpastian, kekecewaan, dan keterasingan dari tujuan dan norma-norma yang menatanya.

(2) Agama menawarkan hubungan yang transendental melalui pemujaan dan ibadat, dan karenanya agama memberikan landasan penguat emosional dan identitas dalam situasi ketidakpastian. Melalui ajaran yang mutlak, juga agama dapat mewujudkan keteraturan dan ketertiban yang pada dasarnya merupakan suatu usaha mendukung kelestarian status dan peranan.

(3) Agama berfungsi meligitimasi pembagian fungsi dan fasilitas termasuk ganjaran. Penyimpangan yang dilakukan oleh seorang individu acapkali 'diampuni' melalui mekanisme ritual sehingga individu yang melakukan penyimpangan disatukan kembali dalam kelompok sosial. Dengan demikian, agama telah mensucikan nilai-nilai dan norma-norma masyarakat yang telah terbentuk dan terpelihara.

(4) Melalui agama dimungkinkan terwujudnya standar nilai yang memungkinkan suatu nilai dan norma yang telah melembaga dikaji secara kritis.

(5) Agama berfungsi sebagai pemberi identitas. Peranserta manusia dalam suatu ritual, doa, dan ritus lainnya telah membedakan dirinya dari orang lain yang melakukan ritual dan doa secara berbeda. Melalui ritus agama dengan mudah seseorang diidentifikasi siapa dia dan apa ia.

(6) Agama berhubungan dengan proses pendewasaan melalui stages along the life cycle. Hal ini sebagaimana para psikolog menggambarkan masa-masa krisis yang dialami oleh individu dalam proses pendewasaannya dan agama berfungsi melibatkan individu dalam proses belajar.

Enam fungsi agama tersebut dijadikan acuan untuk membaca kembali peran desa pakraman di tengah-tengah derasnya perubahan dan tantangan zaman. Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa desa pakraman merupakan lembaga adat yang sosio-religius dan telah menempatkan diri pada satu sisi menjadi lembaga adat yang bergelut dengan kehidupan tradisi yang hampir seluruhnya berdimensi sosial.

Sementara itu, juga pada sisi lain desa pakraman menjadi lembaga agama karena dalam praktiknya desa pakraman melaksanakan fungsi lembaga agama, yaitu mengatur hubungan antarumat dan hubungan antara umat Hindu dengan pemimpin agamanya. Berdasarkan fungsi ganda desa pakraman tersebut dapat ditawarkan managemen sosial dan budaya yang menjadi peran desa pakraman dalam menghadapi perubahan dan tantangan zaman seperti berikut.

Pertama, pemurnian tradisi desa pakraman. Ini dilakukan karena melalui agama dimungkinkan terwujudnya standar nilai yang memungkinkan suatu nilai dan norma yang telah melembaga dikaji secara kritis. Selain itu, juga karena perubahan masyarakat dan kebudayaan merupakan implikasi yang diyakini oleh warisan pemikiran Pencerahan sebagai tujuan (Giddens, 2005). Ini terjadi karena penggunaan pengetahuan tidak homogen, perubahan tatanan nilai inheren dalam inovasi dan orientasi kognitif yang terus berubah, dan tidak ada pengetahuan kehidupan sosial yang mencakup semua situasi.

Apabila pengetahuan warga desa tentang dunia sosialnya semakin baik, maka cakupan konsekuensi yang tidak dikehendaki mungkin akan semakin terbatas, tetapi refleksivitas kehidupan sosial modern menghambat kemungkinan ini. Untuk itu diperlukan pemurnian tradisi, seperti yang dikonsepsikan dalam Tri Murti dan Tri Hita Karana.

Dengannya warga desa memahami bahwa mereka turut serta dalam membangun watak Alam dan sebaliknya, Alam berpartisipasi dalam membangun karakter mereka. Untuk mewujudkan eksistensi mereka, warga desa merujuk pada Realitas Tertinggi, Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Kedua, membangun kesadaran desa ring raga (desa di dalam diri warga). Dalam hal ini parajuru desa memberi kesempatan seluas-luasnya kepada warga desa belajar berkomunikasi secara rasional dengan mengambil sikap verbal terhadap pengalamannya. Paling tidak mereka belajar mengatakan alam luar yang sesuai dengannya, mereka belajar mengatakan yang wajar dikatakan terhadap masyarakat, mereka belajar jujur mengungkapkan alam batinnya melalui bahasa yang jelas, dan mereka belajar membuktikan klaim itu dalam sebuah pergaulan.

Artinya, rasionalitas adalah disposisi warga desa yang mampu berbahasa dan bertindak yang diperoleh melalui interaksi dengan lingkungannya dan keharusan untuk mempertanggungjawabkan perkataannya. Ini menegaskan bahwa visi-lokal berisi kemampuan ‘berbahasa ibu’ dan bertindak menurut tradisi dan warga desa memperolehnya melalui interaksi sosial dan kebebasannya. Ini gagasan tentang reinterpretasi dan reposisi Bahasa Bali, sebuah impian untuk menjadikannya ”Ibu Moralitas dan Rasionalitas Desa Pakraman”, penuntun pikiran, kata-kata, dan tindakan kepada sebuah kesadaran: ”Desa Ring Raga”.

Ketiga, meningkatkan sradha-bhakti warga desa. Dalam hal ini agama menawarkan hubungan yang transendental melalui pemujaan dan ibadat, dan karenanya agama memberikan landasan penguat emosional dan identitas dalam situasi ketidakpastian. Melalui ajaran yang mutlak juga agama dapat mewujudkan keteraturan dan ketertiban sosial yang pada dasarnya merupakan suatu usaha mendukung kelestarian status dan peranan. Dalam konteks ini sradha-bhakti yang menuntun pikiran dan tindakan kreatif warga desa juga sekaligus melindungi kebebasannya.

Dengannya Tri Hita Karana dan Tri Mandala menjadi sumber moral untuk memahami kehendak Ruang Desa Pakraman – Jati Diri Bali. Di sini agama Hindu lebih fungsional dalam kehidupan setidak-tidaknya dapat menjadi sumber penjelasan terakhir tentang masalah fundamental kehidupan karena memberikan dasar-komitmen dan tujuan kehidupan; menjadi sumber ketenangan dan kedamaian karena memberi kepastian hidup; menjadi pembenaran atas praktik-praktik kehidupan dalam masyarakat karena memberi azas-azas moralitas; serta meneguhkan tata nilai dan memuaskan kerinduan yang paling mendalam karena memberi pengalaman mengenai keimanan. Pada gilirannya bidang-bidang kehidupan yang semula dibatasi sekat-sekat spasial dan temporal semakin diresapi sradha-bhakti sehingga kehidupan kembali pada garis eksistensinya; dan sudah semestinya ’dari mana semuanya lahir, dengannya semua bertahan hidup, dan kepadanya semua kembali’. Dengan demikian, Desa Pakraman tetap dan selalu menjadi Desa bagi Pakramannya. Inilah Asli: Wajah Bali.

Keempat, memperlakukan warga desa sebagai makhluk religius. Di sini agama berfungsi melegitimasi pembagian fungsi dan fasilitas termasuk ganjaran. Penyimpangan yang dilakukan oleh warga desa acapkali 'diampuni' melalui mekanisme ritual sehingga warga desa yang melakukan penyimpangan disatukan kembali dalam kelompok sosial. Dengan demikian, agama telah mensucikan nilai-nilai dan norma-norma masyarakat adat yang telah terbentuk dan terpelihara. Ini sebabnya harus diterima bahwa warga desa memang manusia religius sehingga desa pakraman memang lingkungan tempat memperoleh pengetahuan agama, merefleksikan kesadaran agama, dan mempraktikkan agama. Tuhan sebagai yang esensial dalam agama dipahami sebagai Pengada di titik asal-mula, Pemelihara pada sepanjang garis eksistensi, dan Pelebur di titik tujuan-kehidupan. Kehidupan yang dihiasi indahnya nilai-nilai ketuhanan akan memberikan kegembiraan keberagamaan dalam dunia sosial yang diselimuti moral.

Kegembiraan semacam ini tidak menyisakan ruang bagi tindakan munafik dan hipokrit, seperti mereka yang berpengetahuan agama tanpa berkesadaran agama, yang menebar ketakutan, kengerian, kehancuran, dan kemusnahan ras manusia. Jadi, warga desa harus berani mengambil tanggung jawab sradha-bhaktinya di tangannya sendiri tanpa menunggu teladan prajuru karena merealisasikan ketuhanan merupakan tujuan hidup pribadi. Inilah Dharma Desa Pakraman.

Kelima, menempatkan agama Hindu menjadi orientasi dan motivasi kehidupan. Mengingat agama berhubungan dengan proses pendewasaan melalui stages along the life cycle. Hal ini sebagaimana para psikolog menggambarkan masa-masa krisis yang dialami oleh warga desa dalam proses pendewasaannya dan agama berfungsi melibatkan warga desa dalam proses pembelajaran. Ini berkaitan dengan upaya mewujudkan desa pakraman menjadi arena damai bagi berseminya rasa kemanusiaan dan kesadaran ketuhanan, seperti pencapaian luhur generasi masa lalu. Pada masa depan desa pakraman lebih memerlukan prajuru berpengetahuan dan berkesadaran agama. Bukan hanya mengenai sradha dan bhakti, tetapi juga prajuru yang secara nyata mempraktikkan susila dalam perbuatannya.

Prajuru susila menerima agama Hindu menjadi sistem keyakinan dan inti sistem nilai dalam rekontruksi sosial desa pakraman. Membiarkan dirinya disusupi dan lingkupi sradha-bhakti serta menerima susila menjadi pendorong dan pengontrol perbuatan warga desa. Merelakan agama Hindu menjadi orientasi dan motivasi kehidupan warga desa untuk membantu mereka mengenal dan menghayati sesuatu yang suci dan sakral. Melalui pengalaman keberagamaan dan penghayatan kepada Ida Sang Hyang Widhi, mereka memiliki kepekaan rasa untuk memahami indahnya mencintai sesama dan mengasihi sarwa prani.

Cinta kasih ini membangun visi mereka tentang keselamatan Jagad Bali dan selalu eling: ‘manusia menderita akibat dirinya sendiri’.

π™Έπš–πšŠπš– π™·πšŽπš›πšž π™³πšŠπš›πš–πšŠπš πšŠπš—
π™Ώπš’πš–πš›πšŽπš π™Έπš—πšπšŽπš•πš–πšŽπšπš’πšŠπš‹πšŠπš•πš’ .

Tidak ada komentar:

×
Berita Terbaru Update