Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Sastra : Sembada

Rabu, 11 November 2020 | November 11, 2020 WIB | 0 Views Last Updated 2020-11-11T10:42:28Z



SEMBADA
Oleh : Taufik WR Hidayat
Banyuwangi -Intelmediabali.id
Orang Jawa punya istilah “sembada-nyembadani”. Istilah tersebut menunjukkan sifat mencukupi, bertanggungjawab atas setiap kata dan perbuatan. Misalnya ada kalimat “mugi-mugi Gusti Pengeran nyembadani”, yang berarti “semoga Tuhan mencukupi”. Orang Jawa seringkali menyebut “ono pakun kudune ono pakan”. Maksudnya “kalau ada perintah seharusnya ada upah/pakan”. Kata “pakan” (makanan) dalam kalimat tersebut bermakna “upah” atau tanggungjawab atas apa yang telah diperintahkan atau dianjurkan.

Dalam pengertian orang Jawa tersebut, orang yang cuma bisa bicara tanpa bukti, hanya main perintah tanpa mencukupi segala kebutuhan orang yang diperintah, tak lain “ora sembada”. Tidak bertanggungjawab. Tidak pas. Dan mulut besar. Atau tidak punya integritas. Ia seringkali mengkhotbahkan kesucian, tapi ia sendiri sebenarnya busuk. Menganjurkan kejujuran, tapi ia sendiri pembohong. Ini “ora sembada” namanya. Orang yang “ora sembada”, tak mungkin “nyembadani” (mencukupi) dirinya sendiri dan orang lain. Itulah dalam masyarakat Jawa, sering dilakukan kegiatan yang disebut “soyo” atau “sayan”, yakni kegiatan yang dilakukan secara bergotong royong membantu salah seorang anggota masyarakat yang sedang kerepotan. Kegiatan tersebut tentu saja tanpa imbalan. Namun tetap “disembadani” (diberi upah) apa adanya dari pihak yang telah meminta bantuan, seperti makanan, kopi, dan rokok.

Pengertian itu menarik, ia menyimpan komitmen yang kuat terhadap pembangunan karakter dalam sikap hidup Jawa. Agar orang tidak hanya pandai bicara, tapi omong kosong pada kenyataannya. Namun demikian---pada galibnya, pengertian Jawa itu tetap tidak mengingkari kemampuan masing-masing orang yang berbeda. Ada istilah "sawang sinawang". Makna istilah "sawang sinawang" dalam kearifan Jawa itu---kurang lebih, agar seseorang tak perlu membanding-bandingkan kebahagiaan dan tak juga membanding-bandingkan penderitaan. Bukan berat atau ringan, besar atau kecil suatu kebahagiaan atau penderitaan, tapi bagaimana dapat melewatinya dengan baik dengan akal sehat. Berat bagi seseorang, boleh jadi ringan bagi yang lain. Ringan bagi saya, boleh jadi berat bagi orang lain. Dan sebaliknya. Ia sebentuk kearifan untuk tak membanding-bandingkan diri atau pencapaian diri. Namun lebih menasehati diri sendiri guna menghayati pengalaman orang lain dan menyadari kapasitas tiap-tiap orang yang tidak sama antara satu dengan yang lain. Maka kebersamaan, persaudaraan dan pengertian kemanusiaan diselenggarakan dengan kesadaran.

Kebahagiaan---katanya, bukan rencana yang dirancang-rancang, bukan pula sesuatu yang harus diwujudkan. Kebahagiaan bagai detak jantung, tinggal bagaimana seseorang menyadari kedatangan dan posisinya dalam diri, menyadari denyutnya yang harmonis dan terus-menerus. Ia refleks dan rileks, bagai air yang mengalir pada segala peristiwa, kondisi atau penjelmaan baru dari suatu perubahan dan pergantian-pergantian. Kebahagiaan mesti terus terpelihara walau pasang-surut, antara kenang dan hilang. Ia bukan sesuatu yang dirancang dalam kebelum-nyataan, yang wajib diwujudkan. Sehingga dikejar-kejar bagai mengejar bayang-bayang. Kewajaran diri yang alamiah adalah “modal” utama merasakan kebahagiaan daripada berupaya mati-matian supaya menjadi bahagia dengan keinginan yang dirancang dalam pengandaian-pengandaian, bahkan terhadap diri sendiri. Segalanya dalam kehidupan ini berada dalam keterhubungan dan keterkaitan yang niscaya.

Konon begitu kiranya salah satu kearifan Jawa itu.

Dalam khazanah pesantren, dikenal kata “fa’ala” (bekerja/berbuat). Konon para agamawan saleh yang tidak mau terkenal dan bersahaja, menjadikan kata tersebut wirid setiap saat. ”Makaryo,” kata orang Jawa. Dari kata “fa’ala” itu, tersimpan pengertian, bahwa seseorang tidak perlu sibuk mencari Allah di dalam angan-angan atau hanya berbelit-belit dengan dalil-dalil belaka. Itu akan membuat orang malas, gemar berkhayal, mudah tersinggung atau mementingkan dan mengagungkan diri sendiri. Kata itu seolah menegaskan, carilah Allah di dalam kerja, di dalam segala pengabdian pada kehidupan, pada yang telah dianugerahkan Allah: anak-istri, pekerjaan, janji, wajan, suthil, sepeda, rumah, kursi, dan semua di sekitar kita dalam hidup sehari-hari. Fa'ala, fa'ala, fa'ala. Bekerja, bekerja, bekerja. Dzikir sejatinya kerja, berbuat untuk kesejahteraan dan menyejahterakan, selamat dan menyelamatkan, dan penjagaan nilai kemanusiaan. Karena bagi kalangan pesantren lama, di dalam keringat dan kerja, doa-harapan, dan pengabdian, wajah Allah nikmat terasa dan menampak dengan nyata dalam hasrat spiritualitas yang lezat. Ia mensahihkan sepotong ayat: "ke mana pun kau hadapkan wajahmu, di situ wajah Tuhanmu". Makhluk tak mungkin menjangkau-Nya, tapi Dialah yang menjangkau semua makhluk dengan "rahman-rahim". Di dalam kerja dan keringat, di dalam menunaikan tanggungjawab terhadap kehidupan, Allah menjelma dalam harapan dan cita-cita kemanusiaan. "Dia (Allah) tidak dapat dicapai oleh penglihatan (jangkauan), sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui. (al-An’aam:103).

Rasakan Allah, temui dengan kerja nyata. Dia ad-dhohiru al-bathinu (mahanyata mahabatin). Fa'ala, fa'ala, fa'ala. Bekerja, bekerja, bekerja. Mengolah kehidupan sebaik-baiknya untuk dipersembahkan sebagai pengabdian seorang hamba kepada Tuhannya. Dengan begitu, seseorang akan menjadi “sembada” atau “nyembadani” lahir batin dirinya dan sesamanya dengan wajar.

Begitu kiranya pengertian dalam tradisi al-Asy’ariyah, yakni “al-kasb”. Al-Kasb (kerja) bagi Al-Syaibani, tak lain upaya mencari harta melalui berbagai hal dengan cara yang tidak melanggar kemanusiaan. Bahwa manusia diciptakan Allah, lalu diperintahkan bekerja keras untuk kebutuhan hidup demi ridha Allah, yakni berharap kepada sang maha pemurah. Pengertian ini kini banyak diabaikan orang, lantaran pandangan semakin terpaku pada yang materi, pada bentuk dan gagasan-gagasan rumit yang tak pernah menyentuh dan menjawab persoalan nyata kehidupan.

Gumuk Angin,
Tembokrejo, 2020

Imam Heru Darmawan
Pimred Intelmediabali q

Tidak ada komentar:

×
Berita Terbaru Update