Denpasar ,Intelmediabali.id-
Sumber ajaran agama Hindu adalah Veda. Veda yaitu kitab yang berisikan ajaran kesucian yang diwahyukan oleh Sang Hyang Widhi Wasa melalui para Mahā Ṛṣi. Veda merupakan jiwa yang meresapi seluruh ajaran Hindu, laksana sumber air yang mengalir terus melalui sungai-sungai yang amat panjang dalam sepanjang abad. Veda adalah sabda suci atau wahyu Sang Hyang Widhi Wasa.
Veda adalah kitab suci yang mencakup berbagai aspek kehidupan yang diperlukan oleh manusia. Veda adalah wahyu Brahman (apāuruseya) yang diyakini oleh umat Hindu dan kebenaran akan wahyu itu tidak boleh dibantah lagi. Veda bersifat anādi-ananta (anantavai vedaḥ) adalah veda yang tidak berawal dan berakhir dan bersifat yang abadi. Berdasarkan materi dan isi ajaran Veda amat luas. Mahā Ṛṣi Manu membagi jenis isi Veda itu ke dalam dua kelompok besar yaitu Veda Śruti dan Veda Smṛti.
Kelompok Veda Śruti isinya hanya memuat wahyu, sedangkan kelompok Veda Smṛti isinya bersumber dari Veda Śruti. Veda Smṛti merupakan manual, yakni buku pedoman yang sisinya tidak bertentangan dengan Sruti. Veda Śmṛti juga merupakan tafsir dan penjelasan dalam Veda Śruti. Baik Śruti maupun Śmṛti, keduanya adalah sumber ajaran agama Hindu yang tidak boleh diragukan kebenarannya. Dalam Manavadharmacastra, II.10 disebutkan sebagai berikut.
Śrutistu vedo vijneyo dharmaśastram tu vai smrtiḥ,
te sarvārthesvamimmamsye tabhyam dharmohi nirbabhau
Sesungguhnya Śruti adalah Veda, demikian pula yang dimaksud Śmṛti adalah Dharmaśastra, kedua ini tidak boleh diragukan dalam hal apapun juga karena keduanya adalah kitab suci yang menjadi sumber daripada dharma atau agama Hindu.
Sebagai kitab suci, Veda adalah sumber ajaran agama Hindu sebab dari Vedalah mengalir ajaran agama Hindu. Ajaran Veda dikutip kembali dan memberikan vitalitas terhadap kitab-kitab susastra Hindu pada masa berikutnya. Dari kitab Veda Śruti mengalirlah ajaran Veda pada kitab-kitab Smṛti, Itihāsa, Purāṇa, kitab-kitab Agama, Tantra, Darsana dan Tattwa-tattwa yang kita warisi di Indonesia dan di Bali yang ditulis dalam Lontar-Lontar.
Menghayati Veda tidak cukup hanya melihat aspek Śruti dan Śmṛti-nya saja tetapi seluruh produk Śmṛti harus dihayati dan dikaji. Oleh karena itu Bhagawan Wararuci atau Kathyāyana didalam kitab Sarasamuccaya disebutkan seseorang mempelajari pula Itihāśa dan Purāṇa karena mereka yang tidak menghayati suplemen Veda itu tidaklah dapat menghayati Veda dengan baik. Sebagaimana kutipan Vayu Purāṇa, I.201 berikut ini.
Itihāśa Purāṇabhyam vedam samupabrmhayet.
Bibhetyalpasrutad vedo mamayam praharisyati.
Hendaknya Veda dijelaskan melalui Itihāśa dan Purāṇa. Kalau tidak Veda merasa takut jika orang-orang sudah membacanya.
Śloka Vayu Purana di atas kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa Kuno termuat dalam kitab Sarasamuccaya śloka 39 yang merupakan karya kompilasi dari Bhagawan Vararuci sebagai berikut:
Ndan Sang Hyang Veda paripūrṇakêna sira, maka sādhana sang hyang Itihāśa,
sang hyang Purāṇa, apan atakut sang hyang Veda ring wwang akêdik ajinya,
ling nira, kamung hyang haywa tiki umāra ri kami ling nira mangkana rakwa atakut.
Veda itu hendaknya dipelajari dengan sempurna melalui jalan mempelajari Itihāśa dan Purāṇa sebab Veda itu akan takut kepada orang-orang yang sedikit pengetahuannya, sabdanya: wahai tuan-tuan jangan datang padaku, demikian konon sabdanya karena takut
memahami makna Veda melalui Itihāśa dan Purāṇa. Veda takut pada orang yang sedikit pengetahuannya. Veda berpikir bahwa ia akan memukulnya (Kajeng, 1999: 33).
Sloka tersebut di atas memberikan tuntunan dasar yang prinsip dalam memahami ajaran suci Veda, bahwa Veda memang tidak bisa dipelajari dengan cara sembarangan. Maksudnya sebelum mempelajari Veda dibutuhkan dasar-dasar pengetahuan awal sebagai medianya terlebih dahulu. Mungkin hal inilah di Bali muncul istilah aywa wera, yaitu sebagai suatu rambu-rambu agar jangan orang sembarangan mempelajari Veda. Sayangnya hal ini disalah-artikan pada zaman dahulu anak-anak tidak boleh belajar Veda.
Mengapa Veda harus dipahami melalui Itihāśa dan Purāṇa tidak langsung pada mantra- mantra Veda? Menurut Swami Siwananda dalam bukunya All About Hinduism menyatakan bahwa mantra-mantra Veda tergolong Prabhu Saṁhitā sedangkan śloka Itihāśa dan Purāṇa tergolong Suhṛta Saṁhitā. Prabhu Saṁhitā artinya syair-syair suci Veda itu utama tidak begitu mudah memahaminya. Sedangkan syair-syair śloka Itihāśa dan Purāṇa disebut Suhṛta Saṁhitā artinya kumpulan syair yang lebih ringan bahasanya sehingga lebih mudah memahaminya. Dengan demikian Veda dipelajari pertama-tama dari cerita-cerita seperti Mahābhārata, Rāmāyana, dan purāṇa-purāṇa.
Inilah yang memberikan kebenaran bahwa upaya transliterasi ajaran Veda ke dalam bahasa dan aksara yang mudah dapat dipahami umat Hindu. Dengan demikian ajaran Veda yang mengalir ke Indonesia ditransliterasi dipadukan dengan kepercayaan lokal umat Hindu Indonesia dan juga di Bali kemudian ditulis kembali dalam pustaka Lontar-Lontar. Ajaran agama Hindu dalam Veda di India ditulis dalam bahasa Sanskerta dan huruf Devanāgarī di India, namun ajaran agama Hindu dalam lontar ditulis dengan bahasa Nusantara (Bahasa Jawa Kuna/bahasa Kawi) dan huruf Jawa dan bahkan huruf Bali.
Pustaka Lontar
Di Bali terdapat sangat banyak lontar. Seorang peneliti Belanda, Van Der Tuuk menggolongkan lontar ke dalam enam klasifikasi, yaitu: (1) Kelompok Veda (Mantra/Pūja), (2) Kelompok Agama bersikan etika, tatasusila, sasana, (3) Kelompok Wariga/astrologi, tutur, kandha, usada, (4) Kelompok Itihasa, epik, parwa, (5) Kelompok Babad/sejarah, dan (6) Kelompok Tantri.
GAMBAR LONTAR
Namun berdasarkan isinya lontar-lontar tersebut dikelompokan dalam 3 kelompok besar, yaitu lontar yang berisi ajaran tattwa, susila (etika) dan ācāra (upakara-upacara).
Lontar yang bersikan tattwa, yaitu: bhuwana kośa, bhuwana sangkṣepa, wraspati tattwa, gaṇapati tattwa, tattwa jñāna, jñāna siddhānta, pamêtêlu bhaṭārā, bhuwana mabah, siwāgama, siwātattwa, gong besi, purwa bhumi kamulan, tantu pagelaran, sanghyang Mahājñāna dan sebagainya.
Lontar yang berisikan tentang ajaran etika atau tata susila adalah siwa sasana, resi sasasana, vrati sasana, brati sasana, putra sesana, ślokāntara, śilakrama, nitiśāstra.
Lontar yang berisikan upacara agama: Lontar Catur Vedhya, wrahaspati kalpa, devata tattwa, widhi tattwa, sundarigama, yama tatwa, yama purana tattwa, mpu lutuk aben, kramaning madhiksa, yajña saṁskara, kramaning atiwa-tiwa, indik maligia, patru saji, dharma kahuripan, eka ratama, janma prawerti, puja kalapati, puja kalih, ekadasarudra, pancawalikrama, indik caru, puja pali-pali, siwa tattwa purana, lontar Medangkamulan, lontar Bagawan Garga, wariga krimping, wariga gemet, dan lainnya.
Selain itu juga terdapat beberapa lontar lain lagi yang tidak dapat dimasukkan dalam 3 golongan besar tadi, yaitu antara lain : (1) Lontar Pengayam-Ayam, yang membicarakan masalah sambung ayam, bagaimana memilih ayam aduan, warna ayam dan hari baiknya saat di adu agar menang. (2) Lontar Dharmaweci (Lontar Pengiwa) yang menguraikan masalah ilmu hitam. (3) Lontar Pangeleakan, yang merupakan dasar dari keberadaan leak di Bali.
Ajaran dalam lontar tidak terpaku kaku dalam Veda namun esensinya adalah Veda dengan menggunakan teologi dan budaya lokal. Misalnya di dalam Veda Tuhan dipanggil Agni, Indra, Waruna, di dalam Upanisad Tuhan dipanggil Brahman, maka dalam agama Hindu di Bali Tuhan dipanggil Sang Hyang Widhi atau Śiwa. Esensi ajaran Ketuhanan dalam Śiwa Tattwa sama dengan ajaran Ketuhanan dalam Veda. Ajaran Śiwa Tattwa lah yang direalisasikan dalam hidup beragama Hindu di Bali. Agama Hindu di Bali mempunyai sifat demikian, namun ia telah mempunyai bentuk yang mapan. Ajaran Ketuhanan adalah: Ekatva anekatva svalakṣana Bhaṭārā, yang artinya: Tuhan itu Esa dalam yang banyak, yang banyak dalam yang Esa. Demikianlah ciri sifat Bhatārā Yang Esa dalam ajaran ini adalah Bhaṭārā Śiwa.
Berbagai-bagai ajaran Agama Hindu dan ajaran kepercayaan pra Hindu menyatu dengan ajaran Ketuhanan ini dan membentuk Śivasidhanta di Bali. Pelaksanaan hidup beragama Hindu di Bali adalah realisasi dari ajaran Śivasidhanta itu. Sosiokultural Bali menjadi media pelaksanaanya. Akibatnya bentuk pemujaan kepada Tuhan bervariasi. Bentuk ibadahnya juga bervariasi dari satu tempat ke tempat yang lain walaupun azasnya sama. Variasi ini ditambah lagi dengan adanya kebebasan bertafsir, yang dari tafsir itu dapat dikemas pula menjadi bentuk pemujaan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas bahwa sumber ajaran agama Hindu di Bali adalah Veda yang diteransliterasi ke dalam Lontar-Lontar, baik dalam tattwa, etika maupun ācāra. Namun karena luasnya ajaran tersebut dan kurangnya kemampuan serta terbatasnya waktu penulis maka penulisan makalah ini dibatasi hanya pada aspek tri kerangka agama Hindu.
Sumber:Prof. Dr. Drs. I Made Surada, M.A
Tidak ada komentar:
Posting Komentar