Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Ketika Pengikut Sampradaya Asing Di Abenkan Dan Di Linggihkan di Rong Telu, Sama Saja Kita Ngabenan Dan Ngelingihan Orang Non Hindu

Sabtu, 26 Maret 2022 | Maret 26, 2022 WIB | 0 Views Last Updated 2022-03-26T12:24:43Z



Oleh Kadek Petir SH
Sabtu 26 Maret 2022

Sejarah telah mencatat bahwa Mpu Kuturan merupakan salah satu dari Panca Pandita yang tiba di Bali pada hari Rabu Kliwon wuku pahang, maduraksa (tanggal ping 6), candra sengkala agni suku babahan atau tahun caka 923 (1001M). Selain Senapati, beliau juga diangkat sebagai sebagai ketua Majelis ”Pakira kiran I Jro makabehan:, yang beranggotakan sekalian senapati dan para pandita Ciwa dan Budha. 
Dalam suatu rapat majelis yang diadakan di Bataanyar ( Pura Samuan Tiga ) ,Mpu Kuturan membahas bagaimana menyederhanakan keagamaan di Bali, yg terdiri dari berbagai aliran. Tatkala itu semua hadirin setuju untuk menegakkan paham Tri Murti (Brahma, Wisnu, Iswara) untuk menjadi inti keagamaan di Bali dan yang layak dianggap sebagai perwujudan atau manifestasi dari Brahman atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang kita kenal saat ini sebagai Hindu Dresta Bali.

Konsesus yang tercapai pada waktu itu menjadi keputusan pemerintah kerajaan, dimana ditetapkan bahwa semua aliran di Bali ditampung dalam satu wadah yang disebut “Ciwa Budha” sebagai persenyawaan Ciwa dan Budha. Semenjak itu penganut Ciwa Budha harus mendirikan tiga buah bangunan suci (pura) untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam perwujudannya yaitu Pura “Kahyangan Tiga” di seluruh Desa Adat di Bali, yang kemudian di ikuti dengan adanya pelinggih Rong Telu/ Kemulan/ Merajan serta Padmasana pada masa Dalem Waturenggong. 

Sedangkan Hindu India sendiri mengalami perubahan secara radikal dalam mentuhankan Sri Krisna, sang awatara Dewa Wisnu karena salah satu sebab terpentingnya adalah kemunculan kitab BRAHMA-SAṀHITĀ, yang baru ditulis sekitar tahun 1300 Masehi yang menjadi salah satu rujukan atau babon terpenting dari “pentuhanan Sri Krishna” yang di kembangkan oleh Chaitanya Mahaprabhu yang merupakan pendiri ajaran Hare Krishna.

Selanjutnya Srilla Prabhupada, pendiri ISKCON tahun 1968, organisasi ajaran Hare Krishna di seluruh dunia  melakukan penafsiran ulang kembali terhadap Srimad-Bhagavatam (SB), Bhagawadgita versi Srila Prabhupada, Kalisantaran Upanisad agar bisa selaras dan menyesuaikan diri dengan Kitab Brahma Samhita yang baru lahir belakangan yaitu sekitar tahun 1300 Masehi.  Demikian juga Sri Krishna yang di maksudkan oleh Prabhupada sebenarnya bukanlah Sri Krishna sang awatara Dewa Wisnu tetapi Chaitanya Mahaprabhu, pendiri Hare Krishna yang meninggal karena tenggelam sekitar 500 tahun yang lalu di Teluk Benggala,India (Sri Chaitanya Mahaprabhu 1486-1534)

Lain lagi sampradaya Sai Baba dalam ajarannya bahwa Sri Sathya Sai Baba yang lahir di India tahun 1926 dan meninggal dunia tahun 2011 karena serangan jantung mengatakan dirinya adalah Tuhan dan penguasa alam semesta sedangkan dewa dewa Tri Murti adalah para manager yang di perintah oleh Tuhan Sai Baba. Pernyataan ini tentu sangat sesat karena tidak satupun Weda menyatakan Tuhan itu berwujud apalagi berwujud manusia.Jadi, ajaran Sai Baba sesungguhnya bertentangan dengan Weda dan kitab kitab suci lainnya yg ada di dunia dan boleh dikatakan menyesatkan umat beragama di dunia. 

*INGAT MPU KUTURAN MENYATUKAN SEMUA SEKTE DALAM PAHAM TRI MURTI DI PURA SAMUAN TIGA SEKITAR TAHUN 1.000 AN MASEHI DI MASA PEMERINTAHAN RAJA UDAYANA, SEDANGKAN AJARAN HARE KRISHNA SENDIRI BARU LAHIR TAHUN 1.500 AN DAN AJARAN SAI BABA BARU LAHIR SEKITAR 90 TAHUN YANG LALU*. 

Sehingga menurut saya, ajaran Sai Baba dan Hare Krishna dengan ajaran Hindu Bali yang merupakan roh Desa Adat di Bali sangat berbeda dan justru sangat bertentangan karena bedanya Teologi atau boleh di bilang sudah beda agama, di samping itu pengikut Hare Krishna dan Sai Baba juga beraktivitas di rumah ibadah semua umat beragama baik Islam, Kristen, Katolik dll karena pengikut mereka umat lintas agama, sesuatu yang tidak boleh kita lakukan sebagai umat beragama Hindu untuk menjaga toleransi beragama.

Saat ini pengikut sampradaya asing hanya egois mikirin diri sendiri saat masih hidup, namun tidak mikirin menolong jasad tubuhnya sendiri manakala sudah mati agar tidak merepotkan keluarganya dan Desa Adat di mana dia bertempat tinggal di Bali. Untuk di Tanah Air Nusantara Raya, terlebih lagi di Bali, maka ajaran HK, Sai Baba, dan umumnya sampradaya itu merupakan ajaran yang belum selesai. Belum jadi satu kesatuan sistem hidup dan kehidupan yg utuh, holistik, dan komprehensif. Sangat tidak cocok dengan adat istiadat, tradisi, dresta, dan kearifan lokal Bali dan Nusantara pada umumnya: dari tattwa sampai tatanan kehidupan yang utuh, dari lahir sampai mati. 

Lebih repot dan nggak nyambung lagi: manakala nanti ketika mereka meninggal dan ketika ngaben dilanjutkan lagi sampai ngalinggihang di Sanggah Kamulan. Saat hidup tidak percaya pada keberadaan Sanggah Kamulan dengan mengatakan Sanggah Kemulan sebagai sarang burung, tapi setelah usai seluruh rangkaian upacara kematian itu, atmannya malah dilinggihang oleh pretisentana dan keluarganya di palinggih yang sangat tidak dipercayai, tidak diyakininya semasa hidup. Ini bagaimana logikanya ?

Hemat saya, bagi para pengikut sampradaya asing baik Sai Baba dan Hare Krishna yang tidak percaya dengan tradisi Hindu Bali ataupun Hindu Nusantara, maka sudah selayaknya bagi mereka setelah mati tidak perlu mendapat perlakuan dengan tradisi upacara Hindu Bali. 

Kalau mereka di abenkan dan di linggihkan di Rong Telu ( Kemulan), sama saja kita ngabenan dan ngelingihan orang Non Hindu karena Sanggah Kemulan itu tradisi Hindu Bali/Nusantara.(JC81)

Tidak ada komentar:

×
Berita Terbaru Update