I Wayan Sukarma
Senin 30 /11/2020
Abstrak
Kitab suci dan sistem ketuhanan merupakan aspek esensial dalam setiap agama. Malahan kedua aspek ini seringkali digunakan untuk menentukan klasifikasi suatu agama, apakah termasuk agama bumi atau agama langit.
Agama bumi itu dimengerti sebagai agama yang lahir dan tumbuh subur dalam kebudayaan suatu masyarakat. Sebaliknya, agama langit adalah agama yang lahir dan tumbuh subur berdasarkan wahyu Tuhan. Artinya, kitab suci kelompok agama bumi bukan wahyu Tuhan, sedangkan kitab suci kelompok agama langit adalah wahyu Tuhan. Dikotomi agama semacam ini merupakan kelaziman dalam studi agama-agama, baik dalam tradisi sosiologi maupun tradisi antropologi. Dalam studi agama-agama semacam ini rupanya, agama Hindu diklasifikasikan menjadi agama bumi, bukan agama langit.
Weda, kitab suci agama Hindu bukan wahyu Tuhan. Alih-alih wahyu Tuhan, bahkan agama Hindu diduga tidak memiliki sistem ketuhanan yang jelas, sebagaimana monoteistik, yaitu paham ketuhanan agama langit dan agama semitis lainnya. Pengklasifikasian agama semacam ini mendorong minat hendak menelusuri ketuhanan dalam Weda. Dengannya, dapat diketahui bahwa Weda itu wahyu Tuhan yang dipraktikkan sesuai dengan tradisi suatu masyarat. Weda mengajarkan bahwa Tuhan itu Prajapati, penguasa Rta dan Dharma.
Kata Kunci: Weda dan Sitem Ketuhanan Weda.
1. Pendahuluan
Zaman kemajuan telah mendemontrasikan semakin tingginya intensitas upaya saling mendominasi dan saling menundukkan antara bidang kehidupan, bahkan antara mereka cenderung saling memperalat. Ini akibat dari semakin intensifnya komunikasi dan interaksi yang membuat batas ruang dan waktu menjadi tidak terlalu relevan. Sekat-sekat yang secara spasial dan temporal memisahkan manusia semakin melentur, bahkan kabur sehingga identitas begitu cair, bahkan seolah-olah semua telah lebur tanpa tanda pengenal. Batas-batas wilayah, kebangsaan, kesukuan, ekonomi, politik, sosial, budaya, dan agama semakin samar.
Dalam semesta yang tanpa kejelasan identitas membuat klaim-klaim kebenaran, kebijaksanaan, bahkan permainan moralitas menjadi tidak begitu jelas sumber dan cara-cara mengurainya. Kondisi inilah yang memanggil dan menghendaki agama agar kembali menjalankan perannya, yaitu mencerahi bidang-bidang kehidupan. Agama secara sosiologi dan antropolgi memang memiliki peran yang signifikan dalam pembangunan kesadaran tentang dunia-kehidupan (Sukarma, 2009:27).
Agama mungkin setua usia manusia, tetapi perkembangan kesadaran keagamaan tidak selalu seiring dengan bertambahnya usia manusia. Mereka yang berpengetahuan harus berkesadaran, karena itu mereka yang berpengetahuan agama harus berkesadaran agama. Fakta bahwa banyak ketakutan dan kengerian disebabkan oleh mereka yang berpengetahuan, tetapi tidak berkesadaran. Begitu juga tidak sedikit kehancuran, bahkan kemusnahan ras manusia disebabkan oleh mereka yang berpengetahuan agama, tanpa berkesadaran agama. Agama memang memiliki peran yang signifikan membangun kesadaran tentang keseharian. Agama memang sudah menjadi tema menarik dalam diskusi antropologi dan sosiologi sejak 1870, yaitu ketika Max Muller memperkenalkan ilmu agama (science of religion) – bahwa agama dapat diselidiki secara ilmiah. Malahan kuliah umum perdananya di Universitas Oxford pada 1873 diterbitkan dengan judul Introduction to the Science of Religion.
Muller yang juga dikenal sebagai ahli Hinduisme kuno dan menguasai bahasa serta mitologi percaya bahwa studi agama memiliki banyak hal yang dapat disumbangkan kepada sains dan agama. Melalui ilmu agama, Muller hendak menawarkan bahwa sudah saatnya melihat agama secara baru dan objektif. Barangkali ilmu agama dapat menggantikan pandangan para teolog (yang hanya ingin membuktikan kebenaran agama mereka sendiri), yaitu dengan mencari pola, elemen, dan prinsip yang seragam dalam agama-agama (Pals, 2001:5—6).
Upaya menemukan pola dan prinsip-prinsip yang seragam dalam agama-agama dilakukan Leonard Swidler dan Paul Mojzes (2000:8) dengan merumuskan lima ciri utama agama, yaitu (1) creed (iman), (2) code (aturan moralitas), (3) community structure (struktur komunitas), (4) cult (peribadatan), dan (5) trancendence (hubungan dengan yang transenden). Artinya, suatu agama memiliki lima unsur pokok yang fungsional di dalam dirinya sendiri dan terhadap unsur lain serta secara bersama-sama membangun struktur agama itu. Iman bukanlah unsur berdiri sendiri tidak memiliki keterkaiatan dengan unsur lainnya, namun justru arti dan makna iman begitu terikat dan tergantung pada aturan moral dan unsur lainnya. Begitu juga dengan unsur moral dan peribadatan begitu terikat dan tergantung pada struktur komunitas yang mendukung keseluruhan gagasan agama dan hubungan dengan yang transenden.
Kemudian, Glock dan Stark (Robertson (ed), 1988:295-297) menemukan bahwa agama terdiri atas lima dimensi yang saling kait-mengait, yaitu (1) keyakinan, (2) praktik, (3) pengalaman, (4) pengetahuan, dan (5) konsekuensi. Dimensi keyakinan berisikan pengharapan manusia religius yang berpegang teguh pada pandangan teologi dan mengakui kebenaran doktrinnya. Dimensi praktik agama mencakup tingkah laku pemujaan, ketaatan, dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianut. Dimensi pengalaman berkaitan dengan pengalaman keagamaan, perasaan-perasaan, persepsi-persepsi, dan sensasi-sensasi yang dialami seorang pelaku atau didefinisikan oleh suatu komunikasi dengan suatu esensi ketuhanan, yakni dengan Tuhan, dengan kenyataan terakhir, dan dengan otoritas transendental. Dimensi pengetahuan agama mengacu pada harapan orang-orang beragama yang sekurang-kurangnya memiliki sejumlah minimal pengetahuan tentang dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci, dan tradisi-tradisi. Dimensi konsekuensi mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari.
Selain itu, Hardjana (2005:51—52) menjelaskan bahwa dari penghayatan kesadaran mengenai hubungan dan ikatan kembali dengan Tuhan munculah agama dengan empat unsur utamanya, yaitu (1) dogma, doktrin atau ajaran; (2) ibadat atau kultus; (3) moral atau etika; dan (4) lembaga atau organisasi. Dogma agama merumuskan hakikat Tuhan yang dikenal, dialami, dan dipercaya kehendakNya untuk manusia dan dunia. Ritual agama menetapkan cara yang seharusnya bagi penataan hubungan manusia dengan Tuhan, antara lain di mana dan kapan hubungan itu diadakan, serta cara dan bentuk hubungan manusia dengan Tuhan itu diselenggarakan. Moral agama menggariskan pedoman perilaku, yakni pedoman yang menetapkan perilaku yang sesuai atau tidak sesuai dengan pengalaman dan kepercayaan terhadap Tuhan dalam hidup pribadi, masyarakat, dan dunia. Kemudian, lembaga agama mengatur hubungan antara penganut agama dan hubungan mereka dengan pemimpin agamanya dalam rangka penghayatan religiusitas secara bersama-sama.
Apabila mengikuti rumusan agama yang dikemukakan Leonard Swidler dan Paul Mojzes (2000), maka dapat diketahui bahwa iman agama Hindu adalah panca sradha, aturan moralitas agama Hindu adalah susila, struktur komunitas agama Hindu adalah parisada, bentuk peribadatan agama Hindu adalah acara, dan hubungan dengan sesuatu yang bersifat transenden agama Hindu adalah brahmawidya. Begitu juga jikalau mengikuti rumusan agama yang dikemukakan Hardjana (2005), maka dapat dipahami bahwa dogma atau doktrin agama Hindu adalah tattwa, ibadat atau kultus agama Hindu adalah acara, moral atau etika agama Hindu adalah susila, dan lembaga atau organisasi agama Hindu adalah parisada.
Akan tetapi, Hinduisme mewadahi beragam subagama sehingga di dalamnya berkembang beragam sistem pemikiran, keyakinan, dan kepercayaan. Malahan Stevenson & Haberman (2001:11) mengatakan bahwa perkenalan dengan Hinduisme merupakan sesuatu yang menantang karena Hindu memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan tradisi agama besar lainnya terutama berkaitan dengan otoritas pendiri ajaran, titik awal sejarah, dan teks utama. Senada dengan hal ini, juga Takwin (2001:3) mengatakan bahwa sulit membedakan Hindu sebagai agama, filsafat, dan kebudayaan karena Hindu adalah filsafat yang disempurnakan dengan ketuhanan. Artinya, Hinduisme merupakan suatu tradisi yang beragam yang terdiri atas bermacam-macam sistem pemikiran, keyakinan, kepercayaan, dan kebiasaan sehingga upaya melakukan generalisasi Hinduisme nyaris tidak mungkin.
Implikasinya bahwa upaya mengklaim satu teks Hindu yang bersifat tunggal adalah kesia-siaan. Begitu juga Stevenson & Haberman (2001:15) mengatakan bahwa absurd untuk mencoba menghadirkan kembali Hinduisme dalam suatu teks tunggal karena tidak ada satu teks khusus yang dapat diterima sebagai otoritas oleh seluruh masyarakat yang mengidentifikasikan diri mereka sebagai pemeluk Hindu. Akan tetapi, secara tradisi pemeluk agama Hindu mengakui Weda sebagai otoritas tertinggi kitab sucinya. Pengakuan terhadap otoritas Weda ini menjadi penting dalam sejarah perkembangan agama dan filsafat Hindu di India. Mengingat aliran filsafat yang tidak mengakui otoritas Weda, seperti Buddha, Jaina, Carvaka, dan Ajavika dianggap bukan bagian dari filsafat Hindu sehingga disebut Nastika (Luniya, 2002:91). Sebaliknya, sistem pemikiran Hindu yang tergolong Astika dibangun dan dikembangkan berdasarkan atas pengakuan terhadap otoritas Weda. Pengakuan ini berupa diterimanya otensitas Weda sebagai bentuk penafsiran yang mendalam dan radikal terhadap kitab suci Catur Weda (Phalgunadi, 2010:30). Artinya, pengakuan terhadap otoritas Weda menjadi syarat mutlak bagi segala macam perkembangan pemikiran dalam Hinduisme.
Hal ini menegaskan bahwa agama Hindu secara internal memang memiliki masalah pluralitas ajaran dan sumber-sumber ajaran. Masalah internal ini sekaligus mendorong munculnya masalah eksternal, seperti tuduhan bahwa agama Hindu tidak memiliki kejelasan tentang iman dan dogma, bahkan dituduh menjadi agama yang supersibuk dengan ritual belaka. Tuduhan lain yang dapat kurang hebohnya, seperti tuduhan bahwa Hindu adalah agama bumi, Hindu adalah agama penyembah berhala, Hindu adalah agama yang mengajarkan pembunuhan, Hindu adalah agama perusak lingkungan, dan Hindu adalah agama boros. Masalah yang lebih serius dapat muncul ketika tuduhan ini dimaksudkan hendak melemahkan status agama Hindu dalam pluralitas agama di Indonesia. Dalam konteks ini kiranya menjadi penting dan relevan mengungkap Weda dan sistem ketuhanannya.
2. Sekilas Tentang Weda
Weda itu Sanatana Dharma – kebenaran yang kekal dan abadi. Kata “Veda” dalam Sanskerta berasal dari urat kata ‘vid’ berarti ‘pengetahuan’ atau ‘mengetahui’. Weda bukan buatan manusia (apauruseya). Isi kitab Weda diwahyukan oleh Tuhan melalui para resi, para brahmana, dan para guru. Weda adalah wahyu Tuhan. Wahyu yang didengar langsung Maharsi sehingga disebut Sruti. Semula wahyu itu diteruskan oleh penerimanya kepada generasi berikutnya secara lisan melalui garis perguruan (parampara). Kemudian, Maharsi Wyasa dan murid-muridnya mengkodifikasikan ajaran Weda dalam bentuk kumpulan mantra-mantra (samhita) atau juga disebut Catur Weda Samhita. Begitulah Weda disampaikan secara lisan, diucapkan, dinyanyikan, dan kemudian ditulis secara sistematis. Jarak waktu antara pewahyuan yang pertama dan pembukuan yang terakhir berlangsung selama berabad-abad, kira-kira selama 1500 tahun (2000 SM hingga 500 SM). Pembukuan itu terjadi secara bertahap, yakni pertama-tama yang terkumpul adalah bagian Weda yang disebut Samhita kemudian, bagian Weda yang disebut Brahmana, dan akhirnya, bagian Weda yang disebut Upanisad. Weda itu kekal karena kata-kata yang menyusunnya bersifat kekal. Garis besarnya, Weda terdiri atas empat kelompok kitab (samhita), yaitu Rig Weda, Sama Weda, Yajur Weda, dan Atharva Weda. Dari Weda mengalir Upaweda dan Wedangga. Weda Samhita disebut Sruti, sedangkan Upaweda dan Wedangga disebut Smrti (Majumdar, 1998:33; Macmillan (ed), 2002:47; Gunadha, 2012:12).
Kitab Weda Samhita merupakan kumpulan mantera yang berbentuk syair yang digunakan untuk melakukan pemujaan dan persembahan. Di dalamnya, juga berisi tenung, sihir, dan segala yang berhubungan dengan magi khususnya Atharwa Weda. Kitab Brahmana berbentuk prosa berisi peraturan-peraturan dan kewajiban-kewajiban keagamaan terutama keterangan tentang kurban, yadnya. Kitab Upanisad berbentuk prosa berisi keterangan mendalam tentang asal mula alam semesta dan isinya terutama tentang manusia dan keselamatannya. Inilah garis-garis besar kitab-kitab sumber utama dalam agama Hindu, lebih luas lagi Hinduisme (Zaehner, 1992).
Hinduisme menaungi berbagai agama dan sub-agama yang berbeda-beda. Di India ada beragam agama dan sub-agama yang berkembang yang memiliki akar tradisi dan dasar religiusitas yang sama. Kebanyakan agama dan sub-agama itu memiliki kepercayaan pada dewa-dewa yang jumlahnya sangat banyak, tetapi Zaehner (1992) melihat bahwa panteon para dewa di dalam Weda secara kasar dapat dibagi dalam tiga kelas, yaitu kelompok dewa dari surga, dari angkasa, dan dari bumi. Hal ini sejalan dan disejajarkan dengan tiga kelas besar pembagian masyarakat India, yaitu brahmana (pepimpin upacara agama), ksatriya (tentara dan raja), dan waisya (petani dan pekerja). Ketiga kelompok kelas ini identik dengan dewa Agni (api), dewa Indra (dewa perang), dan Visva Deva (dewa semesta). Walaupun demikian, kesemua dewa itu hanya merupakan manifestasi dari satu dewa Tertinggi, Brahman. Ini membuktikan bahwa pada dasarnya Hinduisme merupakan suatu kepercayaan monoteistik, percaya hanya pada satu Tuhan. Hinduisme, juga dikenal sebagai Sanatana Dharma, “kebajikan abadi”.
Weda menjadi landasan untuk mengerti Rta dan memahami Dharma, yaitu dua hukum kehidupan tertinggi. Rta mengajarkan prinsip-prinsip hukum alam (logika) dan dharma menganjurkan prinsip-prinsip hukum moral (etika). Menurut Gunadha (2012:18) bahwa kedua hukum ini dijelaskan secara luas dan mendalam dalam Sruti. Tuhan dalam Weda disebut Prajapati, yaitu penguasa dan pengendali Rta (Rtawan). Selanjutnya, Tuhan imanen dalam Rta dan Dharma yang diciptakannya sendiri. Jadi, ketundukan pada Rta dan ketaatan pada Dharma menjadi kewajiban umat Hindu dalam dunia-kehidupan. Kitab Sruti menjadi sumber hukum kehidupan tertinggi kemudian, dijabarkan dalam kitab-kitab Smrti, Sila, Acara, dan Atmanastuti. Hirarki hukum kehidupan ini dijelaskan dalam Manawa Dharmasastra, II. 6 berikut.
Idanim dharma pramanamyaha,
wedo khilo dharma mulam,
smrti sile ca tadvidam,
Acara’s ca iwa sadhunam,
atmanastutirewa.
Artinya:
Seluruh pustaka suci Weda (Sruti dan Smrti) merupakan
sumber pertama dari dharma. Kemudian adat istiadat, setelah
itu tingkah laku yang terpuji dari orang-orang bijak yang
mendalami ajaran suci Weda (sila), juga tata cara kehidupan
orang suci (acara), dan akhirnya kepuasan pribadi
(atmanastuti).
Seloka tersebut menegaskan bahwa Sruti adalah Catur Weda yang menjadi sumber pertama dari dharma, sedangkan Smrti adalah penjelasan atas tafsir Weda. Weda Sruti terdiri atas Rig Weda, Yayur Weda, Sama Weda, dan Atharwa Weda. Rg Weda terdiri atas 1.028 sukta (himne) dan 10.552 mantra terbagi dari sepuluh mandala dan mandala masing-masing terdiri atas sukta atau varga (himne) dan sukta masing-masing terdiri atas mantra. Yajur Weda terdiri atas 1.975 mantra yang tersebar kedalam 40 adhyaya. Adhyaya yang terbesar adalah adhyaya 12 yang terdiri atas 117 mantra dan adhyaya yang paling sedikit adalah adhyaya 39 terdiri atas 13 mantra. Yajur Weda terdiri atas dua bagian, yaitu Sukla Yajur Weda dan Krsna Yajur Weda. Sama Weda terdiri atas 1.875 mantra yang sebagian besar diambil dari mantra-mantra Rg. Weda. Kemudian, Atharva Weda terdiri atas 5.987 mantra, 20 kanda.
Secara garis besarnya, Smrti dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu Wedangga dan Upaweda. Wedangga terdiri atas Siksa (ilmu fonetik), Vyakarana (ilmu tata bahasa), Candha (lagu atau hymne), Nirukta (ilmu tafsir otentik), Jyotisa (ilmu perbintangan atau astronomi), dan Kalpa (ilmu tentang persembahan). Sementara itu, Upaweda terdiri atas Itihasa (Mahabharata dan Ramayana), Purana (cerita-cerita kuno), Arthasastra (ilmu politik dan kepemimpinan), Ayur Weda (ilmu pengobatan), Gandharva Weda (ilmu kesenian), Kamasastra (ilmu tentang kama dan seksualitas), dan Agama (kitab-kitab tantra) (Putra, dkk., 1985:9–19). Meskipun tampaknya teks Hindu berbeda-beda, tetapi kebenaran kitab-kitab Sruti dan Smrti mutlak adanya. Hal ini seperti dijelaskan dalam Manawadharmasastra, II.10 berikut.
Srutistu vedo vijneyo,
dharmasastram tu vai Smrtih,
te sarvarthāwam imamsye,
tathyam dharmahi nirbabhau.
Artinya:
Sesungguhnya Sruti (wahyu) adalah Weda, demikian pula Smrti adalah Dharmasastra.
Keduanya tidak boleh diragukan dalam hal apapun juga, karena keduanya adalah kitab
suci yang menjadi sumber dari hukum suci itu (dharma).
Kebenaran absolut yang disampaikan Sruti, agar dapat dijadikan landasan sistem nilai dalam suatu masyarakat kemudian, diterjemahkan kembali dalam dunia-kehidupan yang memang bersifat relatif. Sruti inilah yang selanjutnya direfleksikan menjadi ajaran-ajaran Smrti, yakni tuntunan kehidupan dalam dunia relatif. Oleh karena itu, refleksi Smrti dapat dikatakan menjadi metode untuk memahami keseluruhan struktur dan isi Sruti. Hal ini seperti ditegaskan dalam Sarasamuscaya, 39 berikut.
Ndan Sang Hyang Weda, paripurnakena makasadana Sang Hyang Itihasa mwah Sang Hyang Purana, apan Sang Hyang Weda ajerih ring wong akedik ajinia.
Artinya :
Untuk mencapai kesempurnaan dalam memahami Weda, maka pelajarilah Itihasa dan Purana terlebih dahulu, karena Weda takut kepada orang yang sedikit ilmunya.
Sarasamuccaya tersebut menegaskan bahwa untuk mencapai kesempurnaan pemahaman atas Weda dapat dilakukan dengan pembacaan mendalam terhadap Smrti, seperti Itihasa dan Purana. Pentingnya mempelajari Smrti menurut Gunadha (2012:20) untuk memahami Sruti karena mempelajari Weda secara langsung akan menemukan banyak kesukaran. Dalam kitab Nirukta dijelaskan bahwa berdasarkan tingkat kesukarannya, mantra-mantra Weda dapat dibagi menjadi tiga kelompok. Pertama, Paroksa merupakan tingkat yang paling sukar karena arti dan makna mantra Weda hanya dapat dijangkau melalui proses pewahyuan. Hanya Maharsi yang memperoleh wahyu saja yang dapat memahami mantra ini, karena itu tidak dapat dipelajari oleh masyarakat kebanyakan. Kedua, Adyatmika merupakan tingkat kesukaran menengah karena arti dan makna mantra Weda hanya dapat dijangkau melalui proses penyucian diri. Hanya orang yang suci jiwanya yang mampu menjangkau pengertian mantra Weda kelompok ini. Untuk itu diperlukan kegiatan pemurnian diri melalui diksa, tapa, brata, dana, punya, dan yoga, semadi. Ketiga, Pratyaksa merupakan mantra Weda yang arti dan maknanya dapat dijangkau melalui ketajaman pikiran dan indera. Jenis mantra Weda ini yang paling mungkin dimengerti dan dipahami oleh orang kebanyakan. Dalam hal ini, diperlukan wawasan yang luas berupa kemampuan berikir kritis dan sistematis hingga dapat melihat kedalaman makna mantra-mantra Weda. Inilah yang mendasari pentingnya mempelajari Smrti sebagai metode untuk memahami struktur dan isi Sruti Weda. Dalam Smrti dapat dijumpai penjelasan yang lebih rinci dan gamblang tentang Weda, bahkan berisi aplikasinya dalam dunia-kehidupan.
Begitulah Weda menjadi pedoman keberagamaan umat Hindu termasuk dalam kehidupan sosial untuk mencapai kemuliaan bagi semua. Dengannya, Weda bersifat sanatana dharma, yaitu kebenaran yang kekal sekaligus abadi dalam kebudayaan sehingga bersifat nutana, selalu muda dan segar. Mengingat kebenaran yang kekal dan abadi itu diterapkan dalam kebudayaan sehingga senantiasa diapresiasi sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan zaman. Artinya, Weda mengajarkan hakikat hidup, tujuan hidup, dan cara-cara menjalankan kehidupan mulai dari pengertian mendalam tentang Tuhan dalam manifestasiNya sebagai dewa-dewa, alam semesta dan hukum-hukumnya, serta pemahaman yang luas mengenai moralitas. Selanjutnya, Weda diterapkan berdasarkan empat pertimbangan utama, yaitu iksha (wawasan), shakti (kemampuan), dan desa (norma positif), kala (waktu).
Model penerapan Weda seperti ini yang menjadikan Weda bersifat nutana dalam arti bahwa Hindu selalu tampil muda dan segar sesuai dengan kebudayaan suatu masyarakat. Malahan ajaran Weda dapat dilaksanakan secara fleksibel sesuai dengan kondisi masyarakat pada tempat (desa), waktu (kala, dan berdasarkan sastra agama (patra). Hal inilah yang menyebabkan agama Hindu mampu beradaptasi secara dinamis dan dialektis dengan budaya-budaya lokal di tempatnya berkembang. Ibarat Sapta Sindhu (tujuh sungai suci) yang memberikan kesuburan bagi seluruh daerah yang dialirinya. Fleksibilitas penerapan Weda seperti inilah menyebabkan agama Hindu tampil dalam bentuk budaya dan/atau adat-istiadat di tempat agama Hindu dipraktikkan. Model penerapan Weda seperti inilah yang melahirkan anggapan bahwa Hindu adalah agama bumi, bukan agama langit. Padahal Weda itu kitab itu wahyu Tuhan.
3. Sistem Ketuhanan Weda
“Hindu adalah filsafat yang disempurnakan dengan ketuhanan” (Takwin, 2001:3). Filsafat Hindu adalah pemikiran spekulatif metafisis tentang hakikat brahman, atman, maya, widya, kala, karma, dan moksa. Perbincanga pada Brahman berkembang pada Brahman sebagai Hakikat Tertinggi beserta seluruh emanasinya. Pengetahuan tentang Brahman dalam Brahmasutra, Upanisad, dan Bhagavadgita disebut Brahmawidya (Phalgunadi, 2010:30--32). Brahmawidya adalah kata dalam bahasa Sanskerta yang artinya sama dengan teologi, yaitu ilmu yang mempelajari Tuhan (Pudja (1999:3). Dengan demikian, brahmawidya dapat disamajajarkan dengan teologi dalam konteks agama-agama. Teologi dalam bahasa Yunani theologia dibentuk dari kata theos berarti Tuhan dan logos berarti wacana atau ilmu. Secara keseluruhan teologi berarti wacana atau ilmu tentang Tuhan, antara lain memiliki pengertian seperti berikut.
(1) Ilmu tentang hubungan dunia Ilahi (atau ideal, atau kekal tak berubah) dengan dunia fisik
(2) Ilmu tentang hakikat Sang Ada dan kehendak Allah (atau para dewa)
(3) Doktrin-doktrin atau keyakinan-keyakinan tentang Allah (atau para dewa) dari kelompok-kelompok keagamaan tertentu atau dari para pemikir perorangan.
(4) Kumpulan ajaran mana saja yang disusun secara koheren menyangkut hakikat Allah dan hubungan-Nya dengan umat manusia dan alam semesta.
(5) Usaha sistematis untuk menyajikan, menafsirkan, dan membenarkan secara konsisten dan berarti, keyakinan akan para dewa dan atau Allah (Bagus, 2002:1090).
Artinya, teologi merupakan bagian dari metafisika yang menyelidiki hal eksisten menurut aspek dari prinsipnya yang terakhir – suatu prinsip yang luput dari inderawi tunggal. Objeknya adalah Tuhan, yaitu esensiNya, eksistensiNya, dan aktivitasNya. Dengan begitu, ilmu tentang Tuhan tidak memberikan pengetahuan tentang Tuhan yang dalam setiap hal sama dengan pengetahuan yang diperoleh dari ilmu tentang objek-objek pengalaman inderawi. Pernyataan-pernyataan tentang Tuhan tidak memberikan suatu pengetahuan yang memadai tentang Dia, tetapi semata-mata hanya pengetahuan yang bersifat analogis (Bagus, 2002:1090). Menurut Pedikso (Supryogo dan Tobroni, 2001:58) bahwa teologi merupakan upaya seluruh orang beriman dalam menangkap, memahami, dan memberlakukan kehendak Tuhan melalui konteksnya. Dengan kata lain, teologi adalah refleksi orang beriman tentang bagaimana bentuk dan/atau nilai-nilai kualitas iman yang dimilikinya.
Apabila dapat disepakati bahwa iman adalah inti dari kepercayaan orang beragama, maka teologi adalah rumusan iman yang wajib dipahami oleh umat beragama sebagai landasan religiusitasnya. Oleh karena itu, untuk memahami ide-ide tentang ketuhanan Hindu dapat ditelusuri dalam kumpulan teks Upanisad, bahkan kitab ini dapat dijadikan sumber inspirasi dan rujukan utama. Akan tetapi, juga Sangkaracharya menyatakan pentingnya dua teks lainnya, yaitu Brahmasutra dan Bhagawadgita sebagai rujukan otentik untuk memahami landasan filosofis Weda. Dengan demikian, Upanisad, Brahmasutra, dan Bhagawadgita merupakan tiga teks utama yang wajib dikaji untuk memahami konsep ketuhanan Hindu. Ketiga teks ini disebut prasthanatraya (Klostermaier, 1988:107).
Weda itu itu kebenaran yang kekal dan abadi – kekal berarti Weda itu entitis, tetap, dan tidak berubah; sedangkan abadi berarti Weda itu berkembang sesuai dengan kebutuhan zaman. Umat Hindu percaya bahwa Weda memiliki otoritas tertinggi di antara kitab-kitab suci Hindu untuk menjelaskan konsep ketuhanan. Hakikat Tuhan dalam Weda adalah Rtawan, yaitu penguasa dan pengendali Rta. Ini sebabnya, tidak ada satupun fungsi kerja alam yang tidak dikendalikan oleh Tuhan. Malahan Weda menyebutkan nama dewa-dewa yang menguasai dan mengendalikan kekuatan-kekuatan alam, seperti Surya (Dewa Matahari), Varuna (Dewa Laut), Indra (Dewa Hujan), Agni (Dewa Api), Vayu (Dewa Angin), dan Aswin (Dewa Kembar). Dewa-dewa yang disebutkan dalam Weda berjumlah 33 (tribhir ekadasi, tiga puluh tiga) (Phalgunadi, 2011:23). Dewa itu kekuatan mahaagung yang menguasai dan mengendalikan semesta sehingga bergerak sesuai dengan garis edarnya.
Dalam perkembangan selanjutnya, konsep ketuhanan Hindu yang termuat dalam ajaran Weda ini mendapatkan penjelasan secara lebih luas dalam kitab-kitab Brahmana, Aranyaka, dan Upanisad. Kitab-kitab Brahmana memahami Tuhan (para Dewa) sebagai penerima segala pemujaan dan persembahan (yadnya) sekaligus pemberi anugerah kepada seluruh umat manusia. Penjelasan ini menjadi basis ajaran karma-kanda, yaitu ajaran tentang pemujaan, persembahan, dan kurban secara tulus ikhlas. Kitab-kitab Aranyaka memusatkan perhatian pada aturan-aturan moral yang diajarkan dalam kitab suci Weda. Hal ini melahirkan ajaran upasana-kanda, yaitu prinsip-prinsip moral untuk mengarungi kehidupan berdasarkan warna-ashrama- dharma. Sementara itu, pembahasan konsep ketuhanan dalam Weda dijelaskan secara sistematis dan filosofis dalam kitab-kitab Upanisad. Penjelasan ini menjadi basis ajaran jnana-kanda, yakni upaya untuk mewujudkan realisasi diri (moksa) melalui pemahaman dan pengalaman ketuhanan (brahmawidya). Pada prinsipnya, ketiga kitab ini memberikan pandangan yang berbeda tentang Tuhan Yang Satu.
Pada zaman Weda (2000 SM – 500 SM) belum dikenal pemujaan kepada Tuhan melalui perwujudan atau ikonisme. Pemujaan hanya dilakukan dengan membaca, mengucapkan, dan menyanyikan mantra-mantra suci Weda. Persembahan dan upacara kurban, juga dilakukan di tempat-tempat terbuka (Phalgunadi, 2011:25). Ini menunjukkan bahwa untuk melakukan pemujaan yang benar sesuai dengan Weda diperlukan tiga metode, yaitu membaca, mengucapkan, dan menyanyikan. Ketiga metode ini mencerminkan bahwa kebenaran Weda harus diperoleh melalui pengalaman langsung. Pemujaan dan persembahan kepada Tuhan yang dilakukan tanpa menggunakan simbol ketuhanan tampaknya juga bersesuaian dengan ajaran Upanisad. Di dalamnya dijelaskan bahwa Tuhan tidak mungkin dijangkau secara sempurna dengan segenap kemampuan manusia. Mengingat setiap penjelasan tentang Tuhan selalu dibatasi oleh kemampuan menggunakan bahasa dan simbol-simbol lainnya. Dalam hal ini, definisi tentang aspek-aspek Tuhan yang dirumuskan senantiasa mengalami kebuntuan karena eksistensi Tuhan berada di luar realitas yang dikenal manusia. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Upanisad bahwa Tuhan adalah neti-neti, bukan ini-bukan ini (Zimmer, 2006).
Walaupun demikian, upaya manusia memahami hakikat Tuhan tidak pernah berhenti karena Tuhan yang misteri senantiasa menarik untuk diungkap. Ketertarikan para Maharsi untuk memahami hakikat Tuhan melalui pengkajian mendalam terhadap ajaran suci Weda telah melahirkan Sad Darsana (enam sistem filsafat Hindu). Dalam sistem filsafat ini, Tuhan tidak hanya dipahami sebagai hakikat yang transenden, tetapi juga imanen dalam ciptaanNya. Perdebatan tentang transendensi dan imanensi Tuhan ini berlangsung secara intensif dalam pemikiran Wedanta yang hampir seluruh perbincangannya disusun berdasarkan pada kitab-kitab Upanisad, Brahmasutra, dan Bhagavadgita (Prasthanatraya). Adwaita-Wedanta yang dibangun oleh Sangkara-carya menekankan pada keabsolutan Tuhan sebagai satu-satunya Realitas – selain Tuhan adalah maya (kepalsuan). Pandangan ini ditentang oleh Ramanuja dengan filsafat Dwaita-Wedanta yang menyatakan bahwa terdapat dua realitas yang berbeda, yaitu Tuhan dan ciptaanNya. Kemudian, Madhwa membangun filsafat Wisistadwaita-Wedanta dengan menyatakan bahwa Tuhan bersifat transenden, tetapi imanen dalam ciptaanNya. Ketiga sistem pemikiran Wedanta ini memberikan pengaruh yang cukup besar dalam perkembangan sistem keyakinan dan konsep pemujaan Hindu di India. Apalagi pada saat bersamaan, juga terjadi perubahan secara radikal dalam sistem keagamaan Hindu di India.
Perubahan yang dimaksud adalah munculnya sampradaya (berbagai aliran atau mazhab keagamaan Hindu) terutama Shaiwa, Waishawa, Ganapatya, Sora, dan Sakta. Pada saat bersamaan, juga perkembangan agama Hindu di India ditandai dengan bangkitnya Tantrayana yang diyakini para ilmuwan sebagai warisan agama Lembah Sungai Sindhu (Phalgunadi, 2011:27). Selain pemujaan shakti – aspek feminin dari para dewa – juga Tantrayana mengajarkan pemujaan dengan menggunakan yantra (simbol-simbol imaji), mantra (nyanyian suci), dan tantra (kekuatan magis) (Avalon, 1997:75). Ajaran Tantrayana ini berhasil memengaruhi seluruh mazhab yang berkembang pada masa itu. Salah satunya penggunaan simbol-simbol imaji dewa (yantra) sebagai pusat orientasi pemujaan dan persembahan. Dalam aspek yang lebih luas, juga nama dan jumlah dewa yang dipuja mengalami penambahan secara signifikan seiring dengan semakin kompleksnya kehidupan dan kebutuhan masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari fleksibilitas ajaran agama Hindu yang terbuka pada berbagai penafsiran.
Begitu juga perkembangan agama Hindu di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari konstruksi keagamaan Hindu di India pada masa lalu. Hindu yang masuk ke Indonesia sekitar abad pertama Masehi – bukti tertulis pada abad ke 4 Masehi, berupa tujuh buah Yupa peningalan kerajaan Kutai di Kalimantan Timur bahwa raja Mulawarman melakukan upacara yadnya pada suatu tempat suci untuk memuja dewa Siwa – telah mewarisi sistem keagamaan Hindu yang telah bersifat sektarian. Berbagai mazhab yang berkembang di India, juga turut masuk ke Indonesia. Menurut Phalgunadi (2011:67) bahwa Shaiwa dan Waishnawa merupakan dua mazhab besar yang masuk ke Indonesia, tetapi kedua-duanya telah mendapatkan pengaruh Tantrayana sehingga disebut juga Shaiwagama dan Waishnawagama. Oleh karena itu, sistem pemujaan dan ritual yang dilaksanakan umat Hindu di Indonesia mengikuti pola-pola yang dibawa oleh mazhab masing-masing. Dalam hal ini, juga termasuk konsep pemujaan dan persembahan dengan menggunakan sarana, seperti berupa arca, pratima, pralingga, dan banten.
Sistem keagamaan Hindu seperti itu didasari pada ajaran Brahmana, Shaiwa Siddhanta, Vedanta, Mimamsa, Yoga, dan Tantrayana. Berkaitan dengan itu, juga ditegaskan bahwa prinsip-prinsip ikonisme Hindu memang lebih cenderung bersifat antropomorfis. Dalam hal ini, Tuhan diwujudkan (dinyasakan) sebagaimana manusia memahaminya, baik yang bersifat fascinosum (menarik) maupun tremendum (dahsyat). Para dewa umumnya digambarkan sebagai yang fascinosum misalnya, memiliki wajah rupawan dan kelebihan dibandingkan manusia biasa seperti bertangan empat dan memegang berbagai senjata yang sesuai dengan fungsi yang diharapkan oleh manusia. Sebaliknya, sifat tremendum umumnya digunakan untuk menggambarkan Tuhan dalam wujud kekuatan yang mahadahsyat dan menakutkan (shakti) misalnya, berwujud raksasa seperti barong dan rangda. Dengan cara ini, umat Hindu akan mengalami pengalaman religius ketika berhadapan dengan wujud-wujud tersebut karena Tuhan yang transenden tidak mungkin terjangkau dengan pikiran manusia (neti, neti).
Penghayatan umat Hindu terhadap Tuhannya, ternyata tidak hanya diwujudkan dalam pengarcaan saja, bahkan sebuah batu dan pohon besar terkadang juga diberikan persembahan. Hal ini dapat menimbulkan kekaburan tentang ikonisme Hindu, juga memantik prasangka bahwa agama Hindu adalah animis sebagaimana kepercayaan masyarakat primitif. Kepercayaan semacam ini, menurut Tylor (Pals, 2003:29) merupakan kepercayaan yang paling purba dalam kehidupan religi di seluruh dunia. Mengingat agama adalah belief in spiritual beings, yaitu kesadaran manusia akan adanya jiwa (soul) yang berbeda dengan roh (spirit). Atas dasar pemikiran ini kemudian, Tylor merumuskan teori religi, antara lain animisme, dinamisme, politeisme, dan monoteisme. Animisme, yaitu mulai saat manusia percaya kepada mahkluk halus yang menempati alam semesta. Dinamisme, yaitu keyakinan akan adanya jiwa di belakang peristiwa-peristiwa alam. Politeisme, yaitu adanya personifikasi terhadap jiwa alam ke dalam dewa-dewa alam. Kemudian, monoteisme, yaitu penerimaan pada satu Tuhan.
Sejalan dengan itu, Comte (Wibisono, 1983:12-13; Soeprapto, 2002:67-68) menyatakan bahwa animisme dan dinamisme sejalan dengan perkembangan intelektual masyarakat pada tahapan fetisisme dan politeisme. Fetisisme merupakan kehidupan masyarakat yang didasari oleh pemikiran bahwa manusia harus menyesuaikan diri dengan benda-benda alam yang dipandang mempunyai suasana kehidupan yang sama seperti dirinya. Politeisme merupakan kehidupan masyarakat yang didasari oleh pemikiran bahwa manusia harus menyesuaikan dan mengabdikan diri kepada keinginan makhluk-makhluk yang tidak kelihatan di sekelilingnya. Keyakinan religi ini menurut Koentjaraningrat, (1980:80--82) berhubungan dengan konsepsi manusia tentang sifat-sifat Tuhan, wujud dari alam gaib (kosmologi), terjadinya alam dan dunia (kosmogoni), wujud dan ciri-ciri kekuatan sakti, ajaran kesusilaan, dan doktrin religi yang mengatur tingkah laku manusia. Sementara itu, upacara religi yang dilaksanakan setiap saat dinyatakan sebagai bentuk aktivitas dan tindakan manusia melaksanakan kebaktian kepada Tuhan, dewa-dewa, roh nenek moyang, dan roh yang menempati benda-benda alam.
Penerimaan umat Hindu terhadap sistem kepercayaan animis dan dinamis tersebut menunjukkan bahwa agama Hindu mewadahi seluruh konsepsi teologi sebagaimana para antropolog merumuskannya. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman tentang konsepsi teologi Hindu secara utuh dan menyeluruh. Secara konseptual dapat dipahami bahwa ketuhanan Hindu mengacu pada keyakinan Tuhan yang satu dipuja dengan banyak nama. Hal ini dapat ditelusuri dalam Rg. Weda I.164.46, “Ekam Sat Viprah bahudha vadanti” (‘hanya terdapat satu Kebenaran Yang Mutlak, orang bijaksana (resi) menyebut dengan banyak nama’). Tuhan yang dipuja dengan berbagai nama sesuai dengan tujuan pemujaan inilah yang disebut istadewata atau dewata yang diingini (Tim, 2002:42).
Pernyataan Rig Weda tersebut, juga diafirmasi lebih tegas lagi dalam Jnanasidhanta yang menyebutkan “ekatwanekatwa swalaksana bhattara” (‘Tuhan Yang Eka dalam Yang Beraneka, itulah disebut Bhattara’) (Sura, dkk, 1999:47). Dengan demikian, Tuhan dalam agama Hindu bersifat monoteistis – Tuhan Yang Maha Esa – seperti dijelaskan dalam Chandogya-Upanisad IV.2.1, “Ekam Eva Advityam Brahman” (‘hanya ada satu Tuhan atau Brahman tak ada yang kedua’). Dalam mantram Trisandhya disebutkan “Eko Narayanaa na dwityo’sti kaccit” (‘Tuhan hanya satu, sama sekali tidak ada duanya (yang kedua)’. Dalam Kakawin Arjuna Wiwaha, “Wahyadhyatmika sembahing hulun i jong ta tan hana waneh” (‘lahir batin sembah hamba ke hadapan Tuhan tak ada yang lainnya’). Akhirnya, dalam mantera-mantera, Tuhan Yang Maha Esa diwujudkan menjadi Pranawa, yaitu aksara suci Om.
Berdasarkan penjelasan tersebut jelas bahwa umat Hindu mempercayai dan menyembah Tuhan Yang Maha Esa sebagaimana kepercayaan agama-agama semitis lainnya. Akan tetapi, agama Hindu memberikan keleluasaan kepada umatnya untuk menghayati Tuhannya sesuai dengan pengetahuan, pemahaman, dan pengalaman religiusnya. Arca dan bebatuan yang dijadikan sarana pemujaan dan yang dituduhkan sebagai “berhala”, bagi umat Hindu memang tidak memiliki nilai secara material, kecuali makna yang disimbolkan oleh arca itu. Semua itu adalah yantra (simbol, imaji) untuk memberikan fokus pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang tidak mungkin dijangkau oleh daya-upaya manusia. Melalui simbol tersebut umat Hindu berusaha menyatakan rasa bhakti, sujud syukur, dan memohon anugerah Tuhan.
4. Penutup
Perenungan, pemujaan, persembahan, dan pelayanan adalah yadnya yang paling utama. Dalam yadnya terkandung rasa tulus ikhlas dan kesucian, rasa bakti dan pemujaan, pelaksanaannya disesuaikan dengan tempat (desa), waktu (kala), dan keadaan (patra) mengacu pada Weda. Model penerapan Weda ini menyebabkan Weda bersifat nutana dalam arti bahwa agama Hindu selalu tampil sesuai dengan kebudayaan suatu masyarakat. Hal ini menyebabkan agama Hindu mampu beradaptasi secara dinamis dan dialektis dengan budaya lokal di tempatnya berkembang. Fleksibilitas penerapan Weda seperti ini menyebabkan agama Hindu tampil dalam bentuk budaya dan/atau adat-istiadat di tempat agama Hindu dipraktikkan. Akibatnya, lahirlah anggapan bahwa Hindu adalah agama bumi, bukan agama langit. Padahal Weda itu kitab itu wahyu Tuhan.
Umat Hindu percaya dan menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Akan tetapi, Weda memberikan keleluasaan untuk menghayati Tuhan sesuai dengan pengetahuan, pemahaman, dan pengalaman religius. Arca bagi umat Hindu tidak memiliki nilai material, kecuali makna yang disimbolkan oleh arca itu. Itu adalah yantra (simbol) untuk memahami dan memberikan fokus pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Apalagi Tuhan sebagai Kebenaran abolut tidak berada di antara nama-rupa dan tidak mungkin dijangkau dengan segala daya-upaya manusia. Kecuali, melalui simbol umat Hindu menyatakan rasa bhakti, sujud syukur, dan memohon anugerah Tuhan.
Cakrawayu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar