Oleh Dahono Prasetyo
15 Januari 2021
Jakarta,Intelmediabali.id
Selain gong vaksinasi dan kandidat Kapolri baru Listyo Sigit, yang tak kalah menariknya Minggu ini adalah kunjungan Menlu Tiongkok Wang Yi ke danau Toba bertemu Menko Investasi dan Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan. Wang Yi dan rombongan bukan untuk plesir di danau terbesar ke 2 di dunia, lebih dari itu sedang menandatangani sejumlah kesepakatan investasi.
Pertemuan petinggi negara membahas investasi yang dipublikasikan selalu menarik diulas latar belakangnya. Utamanya hubungan ekonomi dan diplomatik Indonesia Tiongkok yang mengalami pasang surut sejak era pasca orde baru.
Investasi selalu indentik dengan bisnis. Ada untung yang di dapat kedua belah pihak yang "bertransaksi". Kita punya tempat bagus, orang lain bikin fasilitas. Perputaran uang terjadi, untungnya dibagi 2. Begitu pula dengan kabar kereta cepat, pabrik nikel, jalan tol lintas Sumatra, Kalimantan, Sulawesi. Tiongkok sudah keluar modal banyak semenjak Jokowi menjadi Presiden ke 7. Sampai di sini tidak ada yang salah, saat investasi asing menjadi salah satu kunci pertumbuhan ekonomi.
Kitapun lantas lupa peristiwa setahun lalu. Saat dengan garangnya Tiongkok menantang perang siapapun yang menghalangi klaim wilayah perairan Natuna. Amerika, Jepang dan sebagian negara Asia tenggara yang bersinggungan dengan laut China Selatan (kini perairan Natuna) dibuat panas dingin. Tak terkecuali Indonesia. Perang dunia ke 3 seolah tinggal menunggu waktu, siapa yang menarik pelatuk duluan saat moncong senjata sama sama dalam posisi on target.
Jokowi tak kalah gertak, menggelar rapat terbatas di atas kapal perang KRI Imam Bonjol sambil berlayar di wilayah perairan Natuna, seolah sedang pasang badan : "Tembak saya kalau berani". Amerika tak kalah panik, dengan mengerahkan beberapa kapal induknya, melabelkan dirinya menjadi "satpam" bagi negara negara di sekitar. Siap melindungi dari invasi Tiongkok yang kabarnya sudah mengerahkan sepertiga kekuatan militernya ke perairan Natuna.
Dunia dibikin kalang kabut oleh Tiongkok dan Amerika plus sekutunya. Indonesia yang ketiban getah berada di jalur Medan perang seolah harus menghadapi 2 "bajak laut" secara bersamaan. Aksi heroik Jokowi disebelah senjata roket kapal perang di saat suhu politik mendidih menjadi fenomenal.
Entah mengapa tiba-tiba perang tak terdengar kabarnya lagi, saat bulan Februari Tiongkok dihajar virus Corona yang mengharuskan 1 provinsinya dimatikan aktifitasnya. Virus Corona yang kemudian menyebar merata di hampir dua per tiga negara di bumi, meredam ancaman perang besar di laut yang tinggal menunggu hari. Masing-masing kemudian sibuk mengurusi warganya dengan segala kepanikan melebihi ancaman rudal yang tinggal menarik picu.
Kegeraman Tiongkok pada keras kepalanya Jokowi, ngeyelnya Amerika melindungi kepentingan sekutunya akhirnya hanya menjadi drama geopolitik paling teatrikal. Mereka yang sebenarnya tidak benar-benar berniat perang apalagi saling kirim rudal.
Meminjam idiom Hitler : Perang militer terjadi karena ada perang dagang. Perang militer berakhir setelah perang dagang usai pula. Dalam kasus konflik Natuna 2020 lalu ada perang dagang antar produsen tehnologi senjata terselip diantara kepentingan perang ekonomi.
Perancis, Rusia, Amerika, Jerman, dan Tiongkok notabene para produsen senjata. Dagangannya nggak akan laku kalau dunia ini adem ayem tanpa perang. Maka terkadang mereka butuh "menciptakan" perang yang sekaligus promosi gratis produk senjatanya.
Gegara potensi perang dunia ke 3 di Natuna, mendadak Singapore, Malaysia, Thailand, Kamboja, Jepang memborong Alutsista dari Eropa. Myanmar, Vietnam, Taiwan, Philipina yang bersinggungan langsung dengan laut konflik terpaksa mengeluarkan cadangan devisanya untuk belanja mesin perang. Tak ketinggalan Indonesia juga.
Intrik Geopolitik memang kejam, Jokowi paham hal itu. Perang tidak akan pernah terjadi, namun bagaimana bersikap, itulah mahalnya nilai tawar yang mesti disampaikan.
Setelah perang urat saraf dan dagang senjata usai, merekapun berdamai dengan gayanya masing-masing. Tiongkok yang makin mesra dengan Indonesia dan Amerika yang mulai mengendorkan tekanannya kepada Jokowi. Arus investasi justru sedang dirancang. Angin dan ombak laut yang pernah murka berubah menjadi semilir sepoi-sepoi di pinggir danau Toba.
Pertemuan Luhut dan Wang Yi sekedar moment simbolis yang dipublikasikan. Menjadi penanda kita sudah lupa perang tahun lalu. Masih akan ada pertemuan bilateral lain yang langsung ketok palu deal investasi tanpa gembar-gembor publikasi.
Kalau bicara masalah "perang" kadang jadi nyesek berasa gondok juga, bagaimana kita pernah berdarah darah perang di Pilpres 2019 lalu. Ujung-ujungnya Prabowo dan Sandi jadi cebong juga?! Plus Tiongkok.( Imam Heru Darmawan )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar