Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Kompleksitas Agama Bahkan Di Era Goggle

Minggu, 28 Februari 2021 | Februari 28, 2021 WIB | 0 Views Last Updated 2021-02-28T02:20:47Z



Review Buku Denny JA, 11 Fakta Era Google: Bergesernya Pemahaman Agama, dari Kebenaran Mutlak Menuju Kekayaan Kultural Milik Bersama, 2021

Amanah Nurish
(Antropolog Agama, SKSG – Universitas Indonesia)

Jakarta,Intelmediabali.id
Buku anyar yang dilahirkan Denny JA berjudul “Pemahaman Agama di Era Google” terbit awal tahun 2021 telah memberi perspektif baru mengenai relasi agama dan teknologi.

Buku ini tidak hanya membahas isu agama di era Google yang menyuguhkan perspektif berbeda. Namun menariknya di beberapa bagian buku ini seolah mengajak kita untuk berziarah kembali pada persoalan mitologi dari zaman pra sejarah hingga abad modern.

Buku ini ditulis dengan gaya bahasa yang ringan dan mudah dipahami oleh semua kalangan masyarakat.


Berbicara mengenai pemahaman agama, mengingatkan saya pada sebuah kisah pertemuan para pemimpin persekutuan gereja Inggris di tahun 1960an.

Pada momen itu terjadi perbincangan antara pemimpin gereja persekutuan Komuni Anglikan dan Pangeran Phillip Montbatten—suami perempuan nomor satu di Britania Raya, Ratu Elizabeth II.

Jenderal Angkatan Laut ini mengisahkan dirinya yang telah menghabiskan sebagian besar waktunya berkeliling dunia; jalur laut, darat, hingga udara.

Telah ia jelajahi dengan aneka pesawat jet, kapal pesiar, dan deretan fasilitas mobil termewah.

Laki-laki berdarah Yunani dan putra dari seorang biarawati, Pangeran Philip Mountbatten, membahas secara diplomatis bagaimana soal perkembangan dunia modern dan peran agama.

Sebagai negara koloni nomor wahid di dunia, Inggris paling handal menunjukkan wajah ambivalen. Di satu sisi, Ia berhasrat menjadi simbol negara maju, berperadaban, dan modern.

Namun di sisi lain, Ia ingin terus mempertahankan tradisi feodal. Inggris tetap mengawinkan hubungan agama dan gereja. Dua institusi ini tetap berjalan, bergandengan dengan mesra.

Politik monarki jenis ini bertujuan untuk mempertahankan stabilitas politik. Ia tidak mempedulikan rakyat sipil terkoyak akibat kekerasan hukum yang telah dibuat sepihak oleh monarki dan gereja yang kurang relevan di era modern.

Suami Ratu Elizabeth II dalam pertemuan itu sedang melakukan “pengakuan dosa” atas perasaan cemas yang telah membelenggu dan membuat hatinya merintih.

Dalam pengakuannya, pangeran Philip mengatakan telah kehilangan kepercayaan dan krisis keimanan di tengah kondisi dunia modern yang semakin kompleks.

“Pengakuan dosa” suami Ratu Elizabeth II ini menjadi “noktah merah.” Betapa saat ia mengalami krisis keimanan dan keyakinan sebagai umat Kristiani, Ia telah dihadapkan pada goncangan batin, kegalauan, kesepian, dan kehampaan yang membuat jiwanya rapuh.

Pengeran Philip yang sebelumnya dikenal sebagai sosok sekuler di kalangan aristokrat Buckingham mengakui bahwa keyakinan terhadap agama menjadi salah satu obat untuk menjawab kegelisahannya.

Kisah ini memang paradoks, ketika di antara sebagian besar wilayah Eropa termasuk negara-negara Skandinavia mengalami sekularisasi justru wilayah Inggris ingin melanggengkan tradisi Kristen dalam lingkaran monarki.

Sementara di belahan dunia lain, sebut saja wilayah Asia berkembang hal berbeda. Wilayah Asia pernah dianggap dan dipandang sebelah mata oleh sebagian negara Barat.

Wilayah ini dipandang sebagai masyarakat yang mundur serta tidak berperadaban.

Tapi pada periode yang sama yakni 1960-an, di wilayah ini, justru ideologi modern saat itu, sosialisme mendapat tempat perhatian dan gairah yang luar biasa.

Dengan terang ideologi ini juga melawan peran agama. Saat itu agama dianggap berkontribusi atas penindasan.

Masih segar di ingatan kolektif kita soal fakta sejarah itu. Di tahun 1960-an benturan agama dan politik semakin menjadi-jadi di berbagai negara. Terutama di negara-negara bekas jajahan.

Sebagai karya populer, buku karya Denny JA ini menginspirasi kita untuk melihat kembali secara jernih bagaimana ontologi agama mengalami reduksi di era internet.

Ada kritik mendasar dari gagasan Denny JA mengenai “Pemahaman Agama di Era Google” yang ia paparkan secara keseluruhan.

Pertama, pemahaman agama dalam masyarakat tidak bisa dinilai secara positivistik yang hanya berpijak pada angka-angka statistik dan indeks ekonomi.

Dalam konteks kepercayaan agama di era internet ini saya ingin meminjam pemikiran Slavo Zizek, filsuf asal Slovenia. Ia mengatakan bahwa setiap manusia memiliki simpul Gnostisisme.

Percik cahaya ketuhanan menyatukan Zat Tertinggi dengan keberadaan kita sehari-hari.

Kita tidak menyadari percik cahaya itu. KIta tidak tahu percikan ketuhanan itu karena terjebak dalam kebekuan realitas material (Zizek, 2019: 14).

Kedua, ada kesan bahwa cara pandang Denny JA dalam melihat dan menyimpulkan agama masih terjebak pada pandangan pos-sekularisme.

Pandangan ini mengutamakan kesejahteraan sosial. Tapi paham kesejahteraan sosial didasarkan pada pembangunan ekonomi dan produk hukum modern.

Menurut saya, parameter ini tidak bisa dipaksakan untuk mengukur karakter bangsa-bangsa lain, seperti Indonesia.

Karena jelas untuk berbagai negara Asia, misalnya, mereka berbeda secara kultural, ras, etnis, bahasa, dan seluruh aspek fisiologi.

Perbedaan ini menyebabkan perbedaan dalam memaknai agama dan kepercayaan.

Lihatlah Negara-negara yang dianggap makmur, aman, bahagia, dan sejahtera secara ekonomi. Itu list negara yang masuk top 10 (Finland, Denmark, Switzerland, Iceland, Norway, Netherlands, Sweden, New Zealand, Austria, dan Luxemburg).

Kultur dalam Top 10 negara memandang nilai metafisika yang non materi sebagai mitos dan takhayul belaka.

Perasaan sedih, gelisah, menderita, atau bahagia seolah-olah hanya bisa diterjemahkan oleh jumlah kapital dalam bentuk angka statistik.

Padahal kuktur di bagian dunia lain menganggap bahagia sebagai bentuk rasa yang abstrak. Ia tak bisa dihitung secara matematika.

Perbedaan kultur menyebabkan perbedaan dalam memahami agama dan kebahagiaan.

Kaum sekuler pernah meramalkan agama akan lesu di tengah perkembangan teknologi. Ternyata yang terjadi justru malah sebaliknya.

Agama justru semakin melekat pada negara dan bangsa-bangsa. Gejala populisme dan fanatisme keagamaan justru marak di berbagai belahan dunia.

Menurut hemat saya, peran agama di era internet ini ibarat tablet-tablet pil yang secara massif diproduksi perusahaan farmasi untuk mengobati para pasien yang sedang mengalami pesakitan.

Dari masing-masing jenis tablet itu terdapat dosis yang berbeda-beda sesuai dengan kapasitas dan kekuatan tubuh manusia dalam mengonsumsi.

Sayangnya, tidak semua manusia bisa diperlakukan sama ketika sakit harus diberi tablet pil.

Sebagian manusia masih ada yang menjalani hidup secara organik dan tidak tergantung pada tablet-tablet pil kimia.

Mereka masih percaya dengan ramuan-ramuan tradisional sebagai kearifan lokal dalam menyelesaikan dan menyembuhkan penyakit yang menjalar di tubuhnya.

Artinya, agama dan kepercayaan meskipun mengalami perkembangan dan pergeseran namun ajaran-ajaran leluhur masih tetap bisa dipertahankan untuk mencapai nilai-nilai kebijaksanaan.

Bukankah ini juga merupakan kekayaan kultural yang perlu kita jaga?

Inilah salah satu fakta bahwa agama di era internet ini sangat bersifat dinamis dan relatif. Agama tidak statis dan kaku.

Masjid, gereja, kuil, dan tempat-tempat ibadah berpindah menjadi YouTube, Facebook, Twitter, WhatsApp, Instagram, Telegram, dan berbagai aplikasi virtual lainnya .

Tapi fenomena agama, kapanpun, sulit dipisahkan dari kehidupan manusia.( RED)

-

Tidak ada komentar:

×
Berita Terbaru Update