Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Pemandian Hijabers : Doktrin Primodialisme Atau Akulturasi

Minggu, 28 Maret 2021 | Maret 28, 2021 WIB | 0 Views Last Updated 2021-03-28T11:43:40Z




Oleh : Dahono Prasetyo
Minggu 28 Maret 2021 

Jogjakarta,Intelmediabali.id-
Padusan adalah tradisi yang banyak dilaksanakan khususnya di kalangan masyarakat Jawa menjelang Bulan Ramadhan. Salah satu bentuk kearifan lokal Jawa ini konon sudah ada sejak zaman Wali Songo. Tradisi ini bertujuan untuk membersihkan diri baik secara lahir dan batin guna menyongsong datangnya Bulan Ramadhan.

Di desa Sekapuk, Ujung Pangkah, Gresik, Jawa Timur muncul sebuah wahana "unik". Kolam pemandian umum yang memanfaatkan bekas lokasi tambang kapur. Dalam rangka menyambut bulan Ramadhan, lokasi padusan (pemandian) dipastikan diserbu masyarakat muslim sebagai ritual tradisi.

Pemandian di desa Sekapuk dikatakan unik bukan karena bekas tambang, tetapi dikhususkan bagi kaum hawa yang berhijab. Menurut Kepala Desa Sekapuk Abdul Halim, tempat wisata tersebut dibuat untuk menciptakan nuansa Islami sesuai jargon Gresik kota santri dan wali.

"Adanya pemandian hijabers ini sekaligus sebagai media dakwah kepada kaum hawa yang belum berhijab. Pihaknya juga sudah menyiapkan pakaian serta hijab atau kerudung yang bisa digunakan pengunjung di saat mandi di kolam pemandian hijaber. Apalagi sebentar lagi memasuki bulan suci ramadhan," terangnya.

Sampai di sini cukup menjadi alasan untuk mendadak berpikir berkerut jidat. Media dakwah di kolam pemandian sambil membayangkan hijab pengunjung basah kuyup usai mandi. Hijab yang dikenakan menjadi artistik mirip sirip ikan cupang melambai-lambai di dalam air.

Tradisi hijab yang notabene berasal bukan dari Jawa dicoba untuk digabungkan dengan tradisi padusan. Primodialisme yang secara definisi dijelaskan sebagai ikatan perasaan kesukuan, ras, dan agama yang cenderung berlebihan diterapkan dalam sebuah tempat wisata.

Seolah ingin menegaskan yang boleh mandi di kolam tersebut hanya yang berhijab, selain itu dilarang. Mereka yang mandi berhijab diasumsikan tidak harus muslim, karena pengelola menyediakan kostum mandi syari'ah kepada wanita siapa saja yang telah membayar tiket masuk 10 ribu rupiah.

Primodialisme Arab yang dibenturkan dengan tradisi Jawa menjadi serius untuk disimak. Dalam budaya Jawa, mandi adalah sewajarnya sekujur tubuh basah, membersihkan keringat juga daki dengan mengusap badan. Saat berhijab di kala mandi, sudah tentu kain-lah yang diusap? Di negara asal usul hijab Islami sebagai penutup aurat, tidak ada tradisi padusan menyambut bulan Ramadhan. Entah karena filosofi budayanya yang berbeda atau memang karena di gurun mesti hemat air.

Ritual tradisi padusan menjadi tidak Jawa lagi. Sudah berisi titipan dakwah Islami yang cenderung berlebihan melalui aktifitas mandi. 

Mereka yang kemudian membangun dinding eksklusif (tertutup) dengan meminjam tradisi Jawa yang sesungguhnya inklusif (terbuka).

Akulturasi (perpaduan) budaya Islam dan Jawa menjadi tidak efektif dan bermasalah dalam norma sosial. Kaidah mandi mesti dikaitkan dengan Agama yang akhirnya sempat terpikir sebegitu mengekang-kah aturan Agama itu?

Prof Sumanto Al Qurtuby, Professor Antropolog di Univ King Fadh dalam sebuah opini sempat menjelaskan persoalan kewajiban berjilbab dan berhijab sebagai budaya Islami. Berikut kutipannya : 

"Kenapa hanya sejak beberapa tahun terakhir ini saja di Indonesia yang bilang Jilbab itu kewajiban? Kenapa dulu-dulu orang tidak bicara kewajiban? Kenapa tokoh-tokoh Islam hebat kita dulu sepert Cut Nyak Dhien (Aceh) atau Rohana Qudus (Minang) tidak berjilbab? Hanya belakangan saja orang-orang pada ramai hiruk-pikuk membahas soal “hijab syar’i” lah, “jilbab islami” lah. Saya amati hal ini terjadi setelah munculnya berbagai ustad karbitan yang “unyu-unyu”–para ustad yang hanya bermodal cekak satu-dua dalil dari Al-Qur’an atau Hadis tapi miskin wawasan kesejarahan dan perangkat ilmu-ilmu sosial. Para ustad yang hanya bisa menghafal sejumlah ayat, Hadis, dan “aqwal” (perkataan para ulama klasik) tetapi tidak menguasai metodologi keilmuan. Akibatnya, mereka hanya bisa mengartikan ayat, hadis, dan “aqwal” tentang “hijab” tadi secara leterlek dan tekstual sehingga kehilangan konteks, sejarah, spirit atau ruh tentang tradisi hijab tadi dalam sejarah keislaman, keagamaan, dan masyarakat Timur Tengah pada umumnya–baik masyarakat agama maupun masyarakat non-agama.”

Penerapan hijab dan jilbab bukan sebuah doktrin ataupun penetrasi, tetapi kesadaran dan keyakinan setiap individu. Pemandian khusus hijabers menjadi bentuk infiltrasi halus dalam upaya menimbun kearifan lokal.

Agama dan kebudayaan menjadi 2 sisi yang seharusnya bisa saling bergandengan tangan. Bukan saling mengalahkan.( RED)

Tidak ada komentar:

×
Berita Terbaru Update