Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Heboh Dan Viral ,Ashram Krishna Balaram Ditutup Desa Adat Kesiman

Minggu, 18 April 2021 | April 18, 2021 WIB | 0 Views Last Updated 2021-04-18T11:58:25Z



DENPASAR ,INTELMEDIABALI.ID- Desa Adat Kesiman dengan tegas menutup segala aktivitas ritual yang dilakukan di dalam Ashram Krishna yang terletak di Jalan Pantai Padang Galak, Kesiman, Denpasar, Minggu (18/4). Penutupan dilakukan oleh Jro Bendesa Adat Kesiman, I Made Wisna, ST., MM., didampingi Pejuru Adat dan Pecalang Desa Adat. Hadir pula berbagai komponen dari Forum Komunikasi Taksu Bali dan pihak berwajib.


Dalam kesempatan itu, Jro Bendesa menegaskan bahwa ritual yang dilaksanakan di Ashram tersebut telah bertentangan dengan dresta adat Bali dan sudah jelas menggunakan cara-cara sampradaya di dalam Ashram ini. Berdalih untuk tempat belajar Weda, ternyata di dalam Ashram mengembangkan ajaran sampradaya non dresta Bali yang sangat menyimpang dengan ajaran Hindu Bali.

Jro Bendesa mengungkapkan, pihaknya mulai terusik ketika ada utusan dating dari Ashram Krisna Balaram untuk meminta permakluman dan izin menggunakan Setra Adat Kesiman untuk melaksanakan upacara pembakaran jenazah untuk bakta dari Ashram mereka. Oleh Desa Adat, permohonan itu ditolak. Hal itu, mematik keinginan dari Desa Adat dan Prajuru untuk melihat lebih mendalam aktivitas di dalam Ashram yang selama bertahun-tahun ada di wilayah Desa Adat Kesiman. Ternyata benar, telah terjadi banyak penyelewengan kegiatan ritual dresta adat Bali di Ashram tersebut.

‘’Dengan berpedoman dengan Perda Nomor 4 tahun 2019 tentang Desa Adat dan Surat Keputusan Bersama PHDI – MDA Provinsi Bali, kami turun sidak dan menutup segala aktivitas ritual di Ashram tersebut. Kami sudah serahkan surat penutupannya dan Pecalang beserta masyarakat kami akan mengawasi aktivitasnya. Jika masih membandel, kami akan kenakan sanksi adat,’’ tegas Jro Bendesa Made Wisna.

Sementara Sekretaris Umum Forkom Taksu Bali, Khismayana Widjanegara mengatakan pihaknya akan mendukung dan selalu ada bersama Desa Adat di seluruh Bali mengawal keberadaan dresta adat dan Hindu Bali. SKB PHDI – MDA yang telah melarang kegiatan Sanpradaya di wewidangan Desa Adat, merupakan upaya penegakan dresta Hindu Bali, budaya dan adat istiadat yang diturunkan oleh leluruh Bali.

‘’Kami yang terdiri 40 elemen ormas, peguyuban, yayasan dan sanggar seni budaya Bali, tidak ada kompromi untuk perusak dresta, adat dan budaya yang bernafaskan Hindu Bali,’’ tegas Khisma.

Koordinator Tim Hukum Bali Metangi, I Komang Sutrisna, SH., menegaskan gerak langkah Desa Adat untuk melakukan sidak, turun ke lokasi Ashram dan melakukan penutupan atas aktivitas ritual yang melenceng dari Dresta Adat memiliki kekuatan hukum yang kuat.

Desa adat, tambah Sutrisna, dalam penyelenggaraan pemerintahan dapat menetapkan aturan-aturan sendiri berupa awig-awig berupa hukum adat. Penyusunan awig-awig desa bersumber dari falsafah Tri Hita Karana, yaitu mengatur keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, manusia dengan sesama manusia, dan manusia dengan alam.

Desa Adat memiliki tugas dan wewenang sesuai dengan Perda No. 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat, menututnya terdapat dalam bagian kesatu, Pasal 21, yang mengatakan Desa Adat memiliki tugas mewujudkan kasukretan Desa Adat yang meliputi ketenteraman, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kedamaian sakala dan niskala.
Sementara SKB PHDI-MDA Bali menegaskan Majelis Desa Adat Kabupaten/Kota dan Kecamatan beserta Prajuru Desa Adat se-Bali untuk secara bersama-sama melaksanakan salah satunya, melarang sampradaya non-dresta Bali di Bali menggunakan pura dan wewidangan-nya, tempat-tempat umum/fasilitas publik, seperti jalan, pantai, dan lapangan untuk melaksanakan kegiatannya; melakukan pengawasan, pemantauan, dan evaluasi terhadap keberadaan sampradaya non-dresta Bali di Bali dalam pengembanan ajarannya.

‘’Ashram ini sudah diawasi, dipantau dan akhirnya diketahui pengembanan ajaran sampradaya non dresta Bali, sehingga dapat dilakukan pelarangan dengan melakukan penutupan aktivitasnya,’’ tegas Sutrisna.

Jro Bendesa yang akrab dipanggil JMW ini, juga menambahkan setelah pihaknya mengecek keberadaan penduduk yang ada di dalam Ashram, didapat bukti dan fakta, kebanyakan adalah penduduk di luar Denpasar yang ada dan tinggal di sana. Walau ada yang sudah bertempat tinggal secara Dinas, namun tidak terdaftar sebagai krama adat.

‘’Kami sempat bertanya, ini tempat ibadah atau apa?. Dijawab tepat belajar. Tapi kami saksikan sendiri, Ashram ini tempat pemujaan dengan cara-cara sampradaya non dresta Bali. Dengan berpedoman SKM PHDI – MDA dan kewenangan sesuai Perda Desa Adat, segala kegiatan yang berkamuplase ini, harus dihentikan dan ditutup,’’ tandasnya.( RED)

Sumber : JMW Taksu Bali

Tidak ada komentar:

×
Berita Terbaru Update