Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Sepotong Harapan Buat Pemimpin Hindu Di Indonesia

Rabu, 11 November 2020 | November 11, 2020 WIB | 0 Views Last Updated 2020-11-11T03:31:22Z




Denpasar -Intelmediabali.id
11 November 2020
Oleh : I Wayan Sukarma

Pendahuluan
Menutup rangkaian pemikiran di atas, walaupun bukan sebagai wujud keraguan, tetapi untuk penegasan saja diketengahkan satu pertanyaan, apakah manusia itu memang makhluk religius? Menerima konsepsi manusia adalah makhluk religius (homo regious) berarti menyetujui bahwa agama setua usia manusia. Penerimaan ini tidak membuktikan apapun mengenai keberagaman seseorang karena perkembangan kesadaran agama tidak selalu seiring-sejalan dengan bertambahnya usia.

Padahal mereka yang berpengetahuan harus berkesadaran, karena itu mereka yang berpengetahuan agama harus berkesadaran agama. Mereka yang berkesadaran agama harus merefleksikan pengetahuan agamanya dalam kehidupan sehari-hari. Apabila tidak maka mereka telah merusak keindahan agama dan kegembiraan keberagamaan itu sendiri.

Pada kenyataan dalam pengalaman empiris kehidupan sehari-hari begitu mudah ditemukan ketakutan dan kengerian yang disebabkan oleh mereka yang berpengetahuan, tetapi tidak berkesadaran. Demikian juga tidak sedikit kehancuran, bahkan kemusnahan ras manusia disebabkan oleh mereka yang berpengetahuan agama tanpa berkesadaran agama.

Krisis kesadaran semacam ini merupakan tragedi kemanusiaan yang bersifat universal, bahkan pada dimensi moralitas terjadi pengenduran tradisi, norma-norma, hukum, dan tatanan kehidupan lainnya yang telah mapan pada taraf mencengangkan. Kondisi ini digambarkan dengan jelas oleh Pritjop Capra (2004:3) dalam Titik Balik Peradaban dan dikatakan bahwa pada awal dua dasa warsa terakhir abad kedua puluh manusia menemukan dirinya berada dalam suatu krisis global serius, suatu krisis kompleks dan multidimensional yang menyentuh setiap aspek kehidupan. Seperti, aspek kesehatan dan mata pencaharian, kualitas lingkungan dan hubungan sosial, ekonomi, teknologi, dan politik. Krisis ini merupakan krisis dalam dimensi-dimensi intelektual, moral, dan spiritual, yakni suatu krisis yang belum pernah terjadi dalam catatan sejarah umat manusia.

Ini refleksi kegelisahan intelektual dan moralitas yang mengerikan, manusia lebih dibentuk dan ditentukan oleh pengetahuannya sehingga pengetahuan mengatasi kesadarannya (Leahy, 2001:95). Radhakrishnan (2003:5) menyebut krisis kesadaran intelektual dan moral ini sebagai era kegelapan intelektual dan barbarisme etik. Dalam konteks ini diperlukan pembangunan agama dan keagamaan bagi kemanusiaan yang menyatukan umat manusia dalam menyesaikan pergumulan kehidupan.

Agama harus menjadi sumber moral sehingga kebaikan yang diajarkannya selalu menjadi landasan kebenaran dalam kehidupan sosial. Memosisikan agama menjadi sumber nilai moral dan kemanusiaan dalam rekontruksi sosial pada dasarnya sejalan dengan Hinduisme.
Hinduisme sebagaimana diungkapkan Zaehner (1992:98) merupakan paham keagamaan yang mewadahi subagama berbeda-beda karena di India ada beragam agama dan subagama yang berkembang memiliki akar tradisi dan dasar religiusitas yang sama.

Menurutnya kebanyakan agama dan subagama itu memiliki kepercayaan kepada dewa-dewa yang jumlahnya sangat banyak, tetapi panteon para dewa di dalam Weda dibagi dalam tiga kelas, yaitu kelompok dewa dari surga, kelompok dewa dari angkasa, dan kelompok dewa dari bumi. Hal ini sejalan dan disejajarkan dengan tiga kelas besar pembagian masyarakat India, yaitu brahmana (pepimpin upacara agama), ksatriya (tentara dan raja), dan waisya (petani dan pekerja). Ketiga kelompok kelas ini identik dengan Dewa Agni (Api), Dewa Indra (Dewa Perang), dan Visva Deva (Dewa Semesta). Akan tetapi semua dewa itu hanya merupakan manifestasi dari satu dewa Tertinggi, Brahman.

Ini membuktikan bahwa Hinduisme merupakan suatu kepercayaan monoteistik yang percaya hanya pada satu Tuhan.
Dalam konteks kebudayaan Radhakrishnan (2003:98) mengatakan hinduisme merupakan warisan pemikiran dan aspirasi hidup yang selalu bergerak seiring dengan pergerakan kehidupan itu sendiri. Dikatakan budaya Hindu mempunyai persatuan tertentu, meskipun budaya itu terbagi ke dalam aneka ragam corak dan warna. Perbedaan-perbedaan itu belum terpecahkan dengan tuntas, walaupun impian persatuan sudah menggema ke permukaan dan menghantui imajinasi para pemimpin.

Untuk memperbaiki kondisi masyarakat India dikatakan, “kita harus menemukan kembali sukma Hindu, apa yang kita miliki dalam darah warisan kita, cita-cita tidak terungkap, hal-hal yang bermukim di relung terdalam hati kita sebagai kekuatan-kekuatan permanen. Nilai-nilai kita tidak berubah, tetapi cara mengekspresikannya berubah. India menempatkan nilai-nilai spiritual pada posisi yang lebih tinggi daripada hal-hal lainnya”.
Mungkin tidak jauh berbeda dengan Hinduisme di India, juga agama Hindu di Indonesia dipraktikkan dalam dunia sosial yang berbeda-beda inheren dengan kultur masyarakat pemeluknya. Kontekstualisasi ini mengakibatkan agama Hindu hadir dengan wajah yang berbeda-beda karena bahasa sebagai satuan budaya mengalirkannya ke dalam tradisi sosial yang beragam sesuai dengan tempatnya dipraktikkan. Agama Hindu seperti umumnya agama-agama lainnya dipahami sebagai seperangkat aturan yang mengatur hubungan antara manusia dan Tuhan, hubungan antara manusia dan sesama, serta hubungan antara manusia dan lingkungan (Suparlan dalam Robertson, 1998:v; dan Kahmad, 2000:12). Dalam kaitannya dengan kebudayaan dan praktik-praktik sosial agama Hindu dipandang menjadi kepercayaan dan pola tingkah laku yang diusahakan masyarakat pemeluknya.

Dalam kondisi demikian tentu lembaga umat dan adat tidak dapat menghindarkan diri melakukan penyesuaian persepsi berkaitan dengan kebijakan sosial. Apabila tidak maka dapat diasumsikan akan terjadi kerancuan tindakan sosial keagamaan. Misalnya, satu tindakan dikatakan baik dan benar menurut agama sekaligus buruk dan salah menurut adat atau sebaliknya, tindakan yang dibolehkan adat adalah tindakan yang dilarang agama.
Menghindari pertumpangtindihan kebijakan antara lembaga umat dan adat dalam perubahan sosial-budaya merupakan agenda penting yang layak diwacanakan dalam keberagamaan umat Hindu di Indonesia. Komunitas Hindu sebagai bagian integral dari suatu masyarakat memiliki tradisi dan pola perubahan sosial tersendiri. Menghadapi struktur dan sistem sosial-budaya yang beragam dalam cepatnya arus perubahan sosial-budaya yang sedang melanda dunia global dapat diasumsikan diperlukan kejelasan mengenai sistem keyakinan dan kepercayaaan.

Agama sebagai sistem keyakinan dan kepercayaaan diposisikan sebagai inti kebudayaan karena kebudayaan dimengerti sebagai suatu sistem atau organisasi makna yang dikonsepsi tersusun secara berlapis-lapis. Lapisan luar berupa produk-produk eksplisit dari suatu budaya; lapisan tengah berupa norma-norma dan nilai-nilai; dan lapisan inti berupa kepercayaan atau anggapan-anggapan dasar tentang eksistensi manusia itu sendiri (Sanapiah Faisal dalam Bungin (ed), 2006:8). Dengan mengikuti konsep ini menjadi jelas perbedaan antara sistem agama dan sistem sosial sehingga menjadi terang pula perbedaan peran antara lembaga agama dan adat.
Peran pemimpin kedua lembaga ini yang mungkin dapat dipandang sebagai representasi pemimpin dan kepemimpinan Hindu merupakan minat yang hendak diungkap dengan bungkus: Sepotong Harapan Buat Pemimpin Hindu di Indonesia. Dikatakan “sepotong” karena memang sangat kecil kemungkinannya atau, bahkan tidak mungkin mengungkap keseluruhan harapan umat Hindu di Indonesia dan, juga sangat mustahil tulisan ini mewakili harapan mereka yang begitu beragam dari latar sosial dan budaya berbeda-beda, tanpa pengamatan serius dan sungguh-sungguh. Kemudian yang dimaksudkan dengan “harapan” adalah peran yang harus dijalankan sesuai dengan status seorang aktor dalam struktur komunitas Hindu. Menjadi jelaslah yang dimaksud dengan pemimpin Hindu adalah mereka yang berada dalam struktur komunitas Hindu yang harus menjalankan peran sesuai dengan harapan umat Hindu di Indonesia. Tentu dalam usianya yang sekarang ini telah mencapai 50 tahun, pemimpin Hindu teristimewa PHDI telah menunjukkan ledewasaan dalam melihat persoalan-persoalan keberagamaan umat Hindu dan matang menyelesaikannya.

Minat yang lahir dari perhatian terbatas ini diharapakan dapat menjadi bentuk partisipasi dalam mencermati satu dari sekian banyak persoalan yang dihadapi umat Hindu di Indonesia khususnya kepemimpinan. Setidak-tidaknya diharapkan dapat memberikan gambaran tentang porsi otoritas terhadap agen yang berbeda-beda secara proporsional dalam keberagamaan. Persoalan munculnya peristiwa aneh-nyeleneh, “colek pamor” misalnya, menjadi jelas otentisitas dan otoritas penyelesaiannya. Patut disadari bahwa agen yang berbeda-beda dapat mengomentari persoalan keumatan dalam berbagai perspektif berdasarkan otoritas lapangan kerjanya masing-masing tanpa harus mengganggu otentisitas lapangan sang otoritatif. Ketegasan otoritas lembaga umat dan lembaga adat dalam keberagamaan umat Hindu setidak-tidaknya dapat meminimalisir munculnya kecenderungan saling mendominasi peran antaragen.
Kejelasan status dan peran pemimpin Hindu di Indonesia juga diharapkan tidak memunculkan ungkapan pemimpin yang mungkin dapat dikatakan ironis dan ambigu, seperti “Mau Mahasabha Luar Biasa? Silahkan! (Media Hindu, Juni 2009:hal.24--26). Padahal untuk menguatkan sistem yang mungkin belum mapan masih dan selalu tersedia ruang dan waktu melakukan diskursus untuk membangun konsensus (“dari hati ke hati”), sebagaimana citra umat Hindu di Indonesia yang mendahulukan persahabatan.
Zaman telah membuktikan persahabatan merupakan kekuatan besar dalam menghadapi berbagai persoalan kehidupan pada setiap bangsa. Oleh karena itu persahabatan para pemimpin Hindu di Indonesia mungkin dapat menjadi spirit dalam menghadapi tantangan keberagamaan umat Hindu di Indonesia.

Perubahan Keberagamaan dan Tantangan Pemimpin Agama
Masyarakat global dewasa ini tengah menuju ke arah sebuah dunia dengan tingkat kompleksitas kehidupan yang semakin tinggi dan bersamanya membawa berbagai kontradiksi kehidupan, baik sosial dan kebudayaan maupun agama (Snow, 2007). Akibatnya, agama bukan lagi menjadi wilayah eksklusif yang steril dari bidang kehidupan nonagama, bahkan agama berpartisipasi aktif dalam kehidupan nonagama. Agama masuk ke dalam wilayah yang pada prinsipnya di luar jangkauannya, bahkan terlibat dalam pergumulan kehidupan sosial dan budaya termasuk menentukan sistem dunia. Casanova (2003:xvii) menggambarkan bahwa agama-agama di seluruh dunia telah memasuki wilayah publik dan kancah politik tidak hanya untuk mempertahankan budaya tradisional mereka sebagaimana yang telah dilakukan pada masa lalu. Akan tetapi, juga agama-agama berpartisipasi dalam pergumulan itu sendiri, antara lain mendefinisikan dan menentukan batas-batas modern; antara wilayah privat dan publik; antara kehidupan dan sistem dunia; antara legalitas dan moralitas; antara individu dan masyarakat; antara keluarga, masyarakat sipil, dan negara; dan antara bangsa-bangsa, negara-negara, peradaban, dan sistem dunia.

Ini berarti agama memiliki daya konstruktif, regulatif, dan formatif dalam membangun tatanan kehidupan masyarakat (Kahmad, 2000:66). Malahan agama diakui memiliki peran transformatif dan motivator bagi proses sosial, kultural, ekonomi, dan politik (Maman, 2006:2). Akan tetapi, fakta keberagamaan menunjukkan fenomena sebaliknya, nilai-nilai agama terhempas dalam ruang hampa agama, bahkan baur dengan nilai-nilai nonagama. Nilai-nilai yang sering dikategorikan sebagai nonagama, seperti nilai budaya, sosial, politik, dan ekonomi. Inilah tantangan bagi pemimpin agama karena nilai-nilai nonagama begitu perkasa menjelajahi sendi kehidupan sehingga nilai-nilai agama semakin terjepit di sudut kegelapan dengan kebingungannya sendiri (Hadi, 2007:102). Ini gambaran wajah zaman kemajuan yang telah berhasil mendemontrasikan semakin tingginya upaya saling mendominasi dan menundukkan antara bidang kehidupan. Malahan antara mereka cenderung saling memperalat dan agama cenderung dimanfaatkan untuk melegitamasi dan mencapai tujuan-tujuan kehidupan nonagama.

Tradisi Pencerahan memang berhasil mewarisi spesifikasi kehidupan secara meyakinkan, tetapi semakin jelas identitas bidang-bidang kehidupan, semakin tinggi kemungkinan untuk saling menundukkan. Kata “saling” memang dimaksudkan untuk menunjukkan keberjarakan antara bidang kehidupan yang satu dengan bidang kehidupan lainnya. Akan tetapi semakin intensifnya komunikasi dan interaksi telah membuat sekat-sekat yang memisahkan bidang-bidang kehidupan semakin melentur, bahkan seolah-olah semuanya lebur tanpa tanda pengenal. Dalam semesta yang tanpa kejelasan identitas membuat klaim-klaim kebenaran, kebijaksanaan, bahkan permainan moral menjadi tidak begitu jelas sumber dan cara mengurainya. Agama seolah-olah dilumat oleh berbagai kepentingan nonreligius, seperti sosial, politik, dan ekonomi. Agama telah menjadi korban dari sistem dunia global yang melumat segalanya karena dominasi bidang-bidang kehidupan nonreligius bukan hanya pada permukaannya saja, melainkan memasuki kedalaman pikiran, perasaan, dan kehendak manusia (Hardjana, 1993:55; Hadi, 2007:3; Jamil, 2008:13).

Ini berarti nilai-nilai nonreligius bukan saja menjadi ancaman dari luar saja, tetapi juga telah mewabah di dalam hati sanubari umat. Akibatnya, muncul sikap keberagamaan yang berbeda-beda, bahkan cenderung berlawanan, seperti apatisme, fundamentalisme, relativisme, bahkan radikalisme (Bruce, 2000:28; Hadi, 2007:102).
Dalam pergeseran semacam ini simbol-simbol kebudayaan tidak lagi menjadi pengarah yang menentukan dalam masyarakat yang dipatuhi karena memiliki daya paksa. Akan tetapi menjadi alat politik bagi perjuangan kepentingan para pihak, baik individual, kelompok maupun institusi. Simbol-simbol agama tidak hanya menjadi penunjuk arah dari suatu praktik religiusitas, tetapi juga telah menjadi alat legitimasi atas keberadaan dan kepentingan. Agama berfungsi mengesahkan keberadaan dan tindakan-tindakan yang boleh jadi menyimpang dari substansi ajaran karena citra telah mewakili realitas keagamaan itu sendiri.

Agama dipraktikkan sebagai bagian dari pengendalian sosial dan identifikasi diri untuk pemosisian diri dalam serangkaian transaksi sosial yang dinamis dan kontekstual. Simbol-simbol budaya telah menjadi alat bagi penegasan otentisitas kelompok yang keberadaannya menjadi bagian dari sistem sosial global dengan pertentangan nilai yang semakin tajam (Kato, 2002:79; Abdullah, 2006:9).

Ini menunjukkan modernisasi, industrialisasi, dan pertumbuhan ekonomi telah menjadi kekuatan penting dalam kehidupan beragama. Selain memperkenalkan pola organisasi produksi baru, juga telah memaksa penyesuaian nilai dan norma dalam masyarakat. Dinamisasi nilai dan norma ini merupakan proses perubahan masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern. Proses ini dapat dilihat pada tiga tahapan, yaitu masuknya pasar ke dalam masyarakat petani; terjadinya integrasi pasar; dan ekspansi pasar (Abdullah, 2006:16).

Proses ini melahirkan privatisasi berbagai praktik keagamaan dengan pemaknaan berbeda-beda dalam konteks general. Konstruksi nilai dilakukan dengan sangat kompetitif antara agen-agen yang berbeda, bahkan para penggagas teori modernisasi menegaskan bahwa dunia sedang berubah dalam cara-cara yang mengkikis nilai-nilai tradisional. Pembangunan ekonomi hampir tidak terhindarkan membawa implikasi bagi kemunduran agama, kepicikan dan perbedaan agama (Ronald Inglehart dalam Harrison dan Samuel P. Huntington (ed), 2006:132).

Modernisasi dan globalisasi memang secara nyata telah membawa perubahan dalam keberagamaan, antara lain ditandai dengan transformasi sistem pengetahuan, sistem nilai, dan sistem tindakan (Abdullah, 2006:110--111).

Pertama, transformasi sistem pengetahuan keagamaan tampak dari perkembangan jenis pengetahuan yang beragam dan kualitas yang bertingkat-tingkat. Kedua, perbedaan dalam sistem nilai keagamaan tampak terjadi secara meluas ditandai oleh perbedaan alat ukur dan penilaian terhadap dimensi keberagamaan yang sama karena setiap kelompok memiliki relativitas nilainya sendiri. Ketiga, berbagai praktik keagamaan yang tidak hanya berbeda, tetapi juga bertentangan muncul dalam kehidupan secara bersamaan sehingga totalitas menjadi tidak penting dalam kehidupan aktual. Melemahnya tata nilai dominan menyebabkan perbedaan-perbedaan praktik menjadi kekuatan baru dalam proses pemaknaan kehidupan itu sendiri. Kekuatan pusat-pusat kekuasaan berkurang sehingga tidak memiliki otoritas dalam penataan sosial keagaman.

Perbedaan-perbedaan praktik agama sebagai diakibat dari budaya modernitas ditunjukkan dengan munculnya gerakan agama-agama baru dan bentuk-bentuk quasi agama serta sinkretisme agama yang dalam perkembangan gerakannya secara bersama-sama membawa berbagai elemen tradisi agama ke dalam makna baru (Lester Kurt dalam Jamil, 2008:9). Melemahnya referensi tradisional dan munculnya fenomena redefinisi agama dalam keberagamaan umat Hindu digambarkan melalui “Pemujaan Leluhur versus Bhagavad Gita” (Raditya, Edisi 127, Pebruari 2008). Edisi ini dalam kolom Bahasan Utama juga menyajikan artikel yang pada intinya mempertanyakan tradisi Hindu Bali dalam beragam judul, antara lain Dogmatisme Kitab Suci versus Ketakutan Pada Magi; Benarkah Roh Leluhur Bisa Diajak Bicara?; Mitos Gaib: Menyuburkan Ritual, Menghacurkan Hindu; Mitos Magi Masih Kuat Karena Budaya; Dari Kesadaran Magis ke Kesadaran Kritis; Takut Teror Magis, tapi berani Pada Sastra; dan Perlindungan Gaib dalam Lemahnya Brahma Tattwa.

Menyudutkan praktik keagamaan, bukanlah kemuliaan karena secara konseptual jalan menghubungkan diri dengan yang transenden bisa dilakukan melalui bermacam-macam jalan, seperti tindakan yang benar, kebaktian, mistik, penyelidikan rasional, ritus sakral, dan mediasi shaman.
Rupanya, redefinisi agama terus-menerus dalam longgarnya praktik sosial menjadi ciri khas fenomena keberagamaan masyarakat masa kini. Agama bukan lagi menjadi sumber nilai dalam pembentukan gaya hidup, tetapi lebih menjadi instrumen bagi gaya hidup itu sendiri. Agama seperti barang-barang seni telah diambil alih oleh pasar untuk dikelola sedemikian rupa. Modernisasi dan globalisasi mengakibatkan transformasi tradisi sosial yang ditandai dengan semakin tingginya kemajemukan internal, diferensiasi struktural, dan agama berhadapan dengan pluralisme budaya dan kritisisme pengetahuan (Kato, 2002:76; Abdullah, 2006:16; Jamil, 2008:4). Fenomena semakin berkembangnya kemajemukan internal, diferensiasi struktural, dan agama sebagai bagian dari tradisi yang harus berhadapan dengan pluralisme budaya dan kritisisme pengetahuan semakin tampak nyata. Fakta menunjukkan bahwa dalam wilayah perkotaan pura (fungsi keagamaan) dan pertokoan (fungsi ekonomis) hadir berdekatan dan diterima tanpa prasangka merupakan suatu bentuk hegemoni modernitas yang tidak dapat dihindari.

Artinya, sekularitas sebagai salah satu bentuk modernitas telah mewarnai pembentukan citra bagi kehadiran umat Hindu dalam dunia sosialnya karena akal sehat telah mengatasi kesadarannya. Hal ini sebagaimana keyakinan Berger (1967) mempertahankan teori sekularisasinya dalam tatanan dunia tanpa agama aktif dan berkurangnya signifikansi agama dalam kehidupan publik seiring dengan proses sekularisasi dan privatisasi. Sekularisasi telah mengantarkan pada demonopolisasi tradisi keagamaan dan meningkatnya peran orang-orang awam, karena itu berbagai pandangan keagamaan berabur dan bersaing dengan pandangan-dunia nonagama. Akibatnya, organisasi-organisasi keagamaan harus mengalami rasionalisasi dan debirokratisasi.

Pada kenyataannya modernitas telah mendorong kebangkitan kembali agama bukan kepada agama konvensional atau formal. Muncul kecenderungan masyarakat untuk menghindari agama utama yang dianggap mengalami kemapanan dan tidak mampu merespons pencarian spiritual mereka. Kemudian, mereka masuk ke dalam aliran-aliran spiritual, sekte-sekte keagamaan atau kultus-kultus yang menawarkan ritus kontemplatif ekslusif yang memberikan nilai lebih bagi kehausan spiritual mereka (Robertson, 1998:65; Kahmad, 2000:65). Ini membuktikan bahwa pada era modern kehidupan agama tidak mati. Dengan mengacu pada hasil penelitian Greely di Amerika Serikat, Jamil (2008:8) menunjukkan bahwa pada era modern kehidupan agama, baik sebagai sistem keyakinan maupun praktik mengalami reformulasi dengan berbagai cara yang bervariasi. Bentuk reformulasi kehidupan agama di Amerika Serikat cukup beragam, antara lain ditandai dengan munculnya gerakan-gerakan agama baru (gerakan new age).

Reformulasi kehidupan agama yang sejenis ditunjukkan Geertz (1992:132) ketika mengamati rasionalisasi agama Bali bahwa orang Bali merasionalisasikan sistem religius mereka melalui proses peralihan batiniah (internal conversion). Fenomena ini oleh O’Dea (1992:118) disebut konversi kontemporer sebagai dampak dari proses modernisasi dan globalisasi yang melanda aspek-aspek kehidupan terutama dalam keberagamaan. Munculnya gerakan agama-agama baru atau aliran keagamaan, seperti sampradaya dan kelompok spiritual dalam keberagamaan umat Hindu di Indonesia juga semakin nyata. Misalnya, sebagaimana ditunjukkan dalam “Sampradaya Marakkan Bali” merupakan tema utama Tabloid Suluh Bali (Edisi VI/Th.I/9 – 22 Nopember 2007).

Fenomena yang sama juga dipresentasikan melalui kolom Editorial sebagai Tajuk Wacana dalam Tabloid Suluh Bali (Edisi VI/Th.I/9--22 Nopember 2007) lebih -kurang seperti berikut. Pelaku spiritual yang sebagian besar dari India dikatakan menyebarkan misi pada setiap orang atau kelompok warga yang ditemui. Umumnya ajaran cinta kasih universal menjadi spirit utamanya dan pengikutnya disarankan bersahaja berdasarkan ajaran ahimsa dan tat twam asi. Jumlah penganut kelompok spiritual ini juga terus bertambah termasuk pendirian pusat-pusat pembinaan, ashram. Melayani masyarakat dikatakan panggilan mulia sehingga pada tataran tattwa tidak terdapat hal yang bertentangan dengan umat Hindu Bali. Namun ketika bersinggungan dengan adat, kehadiran kelompok sampradaya di Bali sering mengundang perdebatan.

Sebab, kelompok penganut vegetarian ini menentang pembunuhan hewan termasuk untuk kepentingan yadnya. Mereka juga menggugat besarnya biaya yang dikeluarkan masyarakat Bali demi kepentingan upacara yadnya.
Kehadiran sampradaya dalam keberagamaan umat Hindu diungkap Widiana (2006) melalui sebuah penelitian tentang “Fenomena Sampradaya Dalam Dinamika Agama Hindu di Bali”. Ditemukan bahwa kehadiran sampradaya di Bali disambut antusias oleh sebagian masyarakat Hindu di Bali yang sedang mengalami “kehausan” spiritual, sedangkan sebagian lainnya menanggapi dengan kecurigaan dan kekawatiran bahwa sampradaya dapat mengganggu tatanan religius masyarakat Hindu di Bali. Selain itu, kehadiran sampradaya di Bali kurang berdampak terhadap lembaga Desa Pakraman yang merupakan media sesungguhnya bagi ekspresi religius masyarakat Hindu di Bali. Akan tetapi, kehadiran sampradaya di Bali memiliki pengaruh yang signifikan terhadap lembaga Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) yang berujung pada hubungan kurang harmonis antara Parisada Hindu Dharma Indonesia Propinsi Bali dan Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat.

Malahan perkembangan berikutnya telah mendorong lahirnya Parisada Dharma Hindu Bali (PDHB), yakni kembali pada masa awal pembentukannya berdasarkan Piagam Parisada.
Demikian juga Azis dan Sudjanggi (2006) menemukan adanya keresahan dan kegelisahan dalam keberagamaan umat Hindu di Bali berkaitan dengan kehadiran kelompok sampradaya terutama Sai Studi Grup. Keberadaan kelompok penganut Sai Studi Grup di Bali sejak 1993 dikatakan sangat kontroversial, baik terhadap lembaga dan elite agama maupun masyarakat lokal. Perbedaan yang mencolok dengan agama Hindu, antara lain menyangkut konsep awatara, yaitu penganut Sai Studi Grup mengganggap Sai Baba sebagai awatara yang patut dipuja sebagaimana orang telah memuja Rama atau Sri Krisna. Sementara itu, menurut penentang ajaran Sai Baba bahwa tokoh Rama dan Krisna bersifat simbolik sehingga berada di dalam ide. Setiap manusia pada dasarnya adalah awatara karena memperoleh pancaran sinar Tuhan dan diharapkan berusaha mencapai kondisi spiritual sebagaimana disimbolkan pribadi Rama dan Krisna.

Perubahan keberagamaan umat Hindu juga menjadi perhatian Pradnya (Taksu:Nopember-Desember/VII/ 2006:hal 22-23). Menurutnya manusia sering kali melakukan kesalahan atas nama agama. Fanatisme sempit telah memabukkan dan menggelapkan mereka, sedangkan agama sendiri tidak pernah mengajarkan begitu. Oleh karena itu, “jangan over acting!”, ungkap Ida Pedanda Bang Buruan Manuaba yang kemudian, menjelaskan keberagamaan umat Hindu pada masa Raja Udayana hingga kehadiran Mpu Kuturan untuk menangani keresahan keberagamaan umat Hindu di Bali berkaitan dengan banyaknya sekte yang saling mengunggulkan ajarannya masing-masing. Selengkapnya ungkapan Ida Pedanda Bang Buruan Manuaba seperti berikut.

“Kalau kita tarik ke belakang, Bali pernah mengalami seperti sekarang ini (berkembangnya kelompok-kelompok spiritual). Munculnya berbagai kelompok spiritual, yakni pada zaman raja Udayana. Banyak terdapat sekte-sekte dalam pemujaan Tuhan. Inilah yang menyebabkan ketidakharmonisan masyarakat satu dengan yang lainnya. Dengan keadaan seperti ini otomatis tidak efektif tatanan masyarakat karena pada saat itu semua sekte mengagung-agungkan pujaannya, bahkan saling merendahkan satu sama lainnya.

Inilah yang menyebabkan pergolakan yang luar biasa di kalangan masyarakat sehingga tidak efektinya pemerintahan pada saat itu. Akhirnya, raja meminta bantuan kepada Mpu Kuturan untuk datang ke Bali menyelesaikan permasalahan yang dialami masyarakat Bali. (Taksu: Nopember-Desember/VII/ 2006:hal 20-21)”.

Pada intinya fenomena ini sejalan dengan pandangan Kimball (Sindhunata, 2003:12) tentang lima tanda yang dapat membuat agama busuk dan korup. Pertama, bila suatu agama mengklaim kebenaran agamanya sebagai kebenaran mutlak dan satu-satunya. Kedua, bila timbul ketaatan buta kepada pemimpin keagamaan mereka. Ketiga, bila agama mulai ganderung merindukan zaman ideal, lalu bertekad merealisasikannya zaman sekarang. Keempat, bila agama tersebut membenarkan dan membiarkan terjadinya “tujuan yang membenarkan cara”. Kelima, bila agama tidak segan-segan memekikkan perang suci. Apabila sejarah membuktikan bahwa banyaknya sampradaya dan kelompok spiritual dalam keberagamaan telah menyebabkan terjadinya pembusukan agama maka kehadiran sampradaya dan kelompok-kelompok spiritual sepatutnya menjadi perhatian umat Hindu terutama para pemimpin umat yang memang memiliki otoritas dalam keberagamaan.

Inipun kalau tidak ingin sejarah berulang kembali, seperti dikatakan Haryono (2005:20), “sejarah tidak boleh berulang untuk kemanusiaan karena manusialah subjeknya dan manusia bukan binatang buas ataupun sekrup pabrik yang kaku”.
Walaupun diketengahkan fenomena keberagamaan umat Hindu di Bali, tetapi tidak tertutup kemungkinan fenomena tersebut juga terjadi dalam keberagamaan umat Hindu di Indonesia. Oleh karena itu dapat diduga bahwa umat Hindu, elite, dan pemimpin Hindu yang berpikiran jernih akan sepakat tidak membiarkan agamanya menjadi busuk dan korup.

Ini sekaligus harapan kepada pemimpin agama dan adat mungkin sudah saatnya ‘duduk bersama’ memikirkan suatu upaya sistematis untuk menghadapi berbagai tantangan umat Hidu pada masa depan. Kata ‘duduk bersama’ sengaja digunakan untuk menunjukkan bahwa mereka memang berbeda, akan tetapi memiliki visi dan misi yang hampir sama, yakni mewujudkan keteraturan, ketertiban, dan keseimbangan sosial berdasarkan agama. Mengingat Hindu, baik sebagai agama maupun kebudayaan merupakan dua sisi berbeda pada satu mata uang yang sebagian maknanya tergantung pada dunia sosial, yakni sebuah kehidupan yang terikat ketat pada adat.

Sepotong Harapan buat Pemimpin Hindu
Perubahan masyarakat dan kebudayaan memang tidak bisa dihindari karena pada prinsipnya manusia tidak pernah berharap masyarakat dan kebudayaannya statis tanpa mengalami perkembangan. Faktanya pada masa kini perubahan masyarakat tradisional menuju ke masyarakat modern telah terjadi secara meluas dan sekarang ini situasi sudah berbeda. Homogenitas agama sudah tidak lagi banyak dijumpai. Kebebasan beragama yang dipandang oleh masyarakat sebagai salah satu esensi kemanusiaan telah mendorong orang untuk membedakan ruang publik dan ruang privat atau urusan publik dan urusan privat, dan agama diperlakukan sebagai urusan privat (Wattimena, 2007:xi). Fenomena ini juga tampak dalam keberagamaan umat Hindu di Indonesia, yakni nilai agama yang diwarisi turun-temurun telah mengalami pergeseran sejalan dengan perkembangan nilai ekspresi diri masyarakat modern, yakni suatu nilai yang mengandalkan kemajuan sains dan teknologi.

Kemajuan yang telah membawa perubahan sekaligus menunjukkan semakin besarnya kekuasaan manusia terhadap lingkungan.
Dalam dunia global yang mengalami kemungkaran lingkungan, degradasi moralitas, dan dehumanisasi, akibat dari kapitalisme yang hedonis dan materialistik, pemaknaan kesalehan sosial yang disumbangkan berbagai kitab suci agama semakin menemukan panggilannya (Abdullah, 2005:21; Mulkhan, 2007:65--69). Pemimpin Hindu melalui tim ahlinya sudah sepatutnya melakukan kajian-kajian terhadap teks-teks Hindu otoritatif. Hasil kajian ini setidak-tidaknya dapat dapat dijadikan acuan dalam membangun tatanan nilai dan norma yang berguna bagi perkembangan moral dan kemanusiaan.

Pemimpin adat menerjemahkannya ke dalam dunis sosial sehingga kehidupan sosial tidak kering dari nuansa religius. Tradisi tidak melawan perubahan karena setiap generasi melalui proses pembelajaran meneruskan budayanya, yakni upaya menyatukan masa lalu dan masa depan pada masa kini. Dengannya proses perubahan masyarakat dan kebudayaan tidak meninggalkan nilai-nilai agama Hindu dan pemajuan moralitas dan kemanusiaan tidak terabaikan. Radhakrishnan (2003:32) mengingatkan, manusia harus mematuhi kemanusiaan sekalipun terhadap mereka yang tidak berperikemanusiaan, manusia harus rela membiarkan perkembangan pikiran dan moralnya menjangkau jauh ke masa depan, dan manusia tidak membiarkan kebencian menutupinya.

Mematuhi kemanusiaan, membiarkan pikiran dan moral berkembang, serta membuka kesadaran diri agar bersih dari kebencian pada prinsipnya adalah tujuan dari pembangunan agama. Pembangunan agama dan keagamaan merupakan proyek kemanusiaan yang menyatukan seluruh lapisan sosial untuk bersama-sama menang dalam pergulatan hidup (Turner, 2003:92; Mulkhan, 2007:59). Manusia sebagai subjek dalam semesta kehidupan haruslah mampu menempatkan kesadaran agama dalam bidang-bidang kehidupan nonagama. Kebaikan yang disumbangkan agama harus menjadi landasan kebenaran sosial dan bukan sebaliknya, kebenaran sosial menduhului kebaikan agama. Dengan demikian kebaikan sebagimana diajarkan agama haruslah menjadi dasar kebenaran karena agama merupakan sumber moral, selain hukum, kebudayaan, dan interaksi sosial (Bertens, 2002:22; Bleeker, 2004). Boleh jadi ini merupakan himbauan moral kepada pemimpin Hindu dan adat untuk lebih banyak merefleksikan kesusilaan melalui berbagai kajian dan perspektif. Aturan moral dalam setiap memang menjadi satu tema penting karena hampuir tidak bisa ditemukan ada agama menganjurkan perbuatan kejahatan.

Dikatakan demikian mengingat kegiatan keagamaan menjadi lembaga sosial termasuk lembaga keagamaan yang bertugas menjaga dan mempertahankan perilaku atau kebiasaan masyarakat. Manusia menanggapi tuntunan yang terkandung dalam lembaga itu dan ikut melestarikan dengan cara mengikuti aturan-aturan yang telah baku. Kenyataan empiris juga menunjukkan dalam dunia global yang lebih mengutamakan rasionalitas, ternyata dimensi moral semakin terpinggirkan. Pada zaman kini tidak cukup hanya menjadi orang tanpa kepintaran karena tidak sedikit orang baik mejadi bahan olokan-olokan dunia sosial yang semakin tak menentu. Dalam konteks ini agama dapat memberikan sumbangan yang signifikan karena agama sebagai keyakinan terhadap sesuatu yang bersifat adikodrati senantiasa menyertai manusia dalam ruang lingkup kehidupannya. Agama memiliki nilai bagi kehidupan manusia, bahkan secara psikologis agama berfungsi menjadi motif bagi tindakan sosial (Ishomuddin, 2002; Jalaluddin, 2002).

Fungsi agama dalam kehidupan sosial memang memberikan sumbangan yang signifikan, tetapi pada kenyataannya dalam pengalaman empiris kehidupan sehari-hari tidak jarang terjadi sebaliknya, tidak sedikit terjadi tindakan kekerasan dalam aspek sosial dan kebudayaan yang dilatari oleh alasan-alasan keagamaan. Dalam konteks ini menjadi relevan ungkapan Rakhmat (2005:106) bahwa agama adalah kenyataan terdekat sekaligus misteri terjauh. Begitu dekat karena agama selalu hadir dalam keseharian manusia dan begitu misterius karena agama sering menampakkan wajah-wajah yang tampak berlawanan. Agama begitu dekat di dalam hati, tetapi semakin besar keinginan memegangnya, justru agama semakin tidak dikenali dan begitu asing. Akibatnya, tidak sedikit ditemukan umat beragama meragukan sebagian atau seluruh ajaran agamanya.

Ini menunjukkan bahwa pembangunan dan pengembangan agama Hindu dalam berbagai perspektif, seperti psikologi, sosiologi, antropologi, sejarah, telogi, dan filsafat menjadi kebutuhan yang semakin nyata. Faktanya juga menunjukkan minimnya kajian-kajian semacam itu dalam perpustakaan umat, sebagaimana tampak dalam katalog penerbit buku-buku agama Hindu.

Minimnya informasi tentang agama Hindu pada satu sisi dan melimpahnya informasi aliran-aliran keagamaan atau agama-agama baru pada sisi lain, mendorong munculnya privatisasi agama dan konversi internal dalam keberagamaan umat Hindu. Privatisasi agama dan konversi internal ini dimulai dari proses rasionalisasi agama yang sudah tentu berlangsung bukan dalam struktur agama konvensional. Umat Hindu dengan mudah melakukan pemutahiran pengetahuan agamanya melalui informasi keagamaan yang diperolehnya dari berbagai saluran sehingga mereka dengan mudah meracik agamanya hingga dirasakan pas dan cocok dengan dirinya.

Berkembangnya pengetahuan keagamaan pada gilirannya membuat agama dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kepentingan pragmatis. Perkembangan keagamaan mununjukkan bahwa perubahan dalam keberagamaan yang dominan terjadi justru agama berubah ke arah pragmatisme. Ini suatu bentuk respons umat Hindu terhadap budaya modernitas dan globalisasi yang ditandai dengan semakin tingginya pengaruh rasionalitas dalam dunia moralitas.
Dalam dunia moral di tempat yang seharusnya agama Hindu konvensional memegang kendali, malahan semakin terpinggirkan karena sastra-sastra Hindu klasik India mendapat sambutan hangat sedemikian rupa sebagai pengisi kekosongan ruang spiritual. Di sinilah sampradaya dan kelompok spiritual menjadi objek pilihan konversi internal karena memang menawarkan praktik yang lebih kontemplatif-eksklusif daripada agama Hindu konvensional yang sarat dengan upacara. Kejenuhan terhadap agama konvensional yang sejalan dengan arus ortodoksi telah mendorong orang berbondong-bondong dan bersimpuh di hadapan pemimpin agama baru atau di hadapan pemimpin agama dengan gaya baru (Ramadhan & Rusmadi dalam Jamil, 2008:xix).

Sejarah pemikiran manusia memang tidak selamanya menunjukkan panorama yang lurus, teratur, dan selalu mengikuti azas-azas kepatutan tradisional dan konsisten berdasarkan mainstream tertentu. Ini merupakan panggilan kepada pemimpin Hindu untuk membangun sistem keberagamaan yang lebih mantap dalam arti adapatif terhadap perkembangan zaman.

Fakta bahwa zaman telah mengkreasi keberagamaan dalam berbagai model tidak dapat dipungkiri karena keinginan akan masa depan yang lebih produktif selalu memberi warna kebaruan. Kebaruan selalu menantang tradisi keberagamaan yang telah mapan sehingga umat Hindu dituntut merenovasi praktik-praktik keyakinannya pada sepanjang garis eksistensi keberagamaannya. Tradisi tidak boleh berhenti pada satu titik masa, melainkan harus berjalan terus sepanjang zaman, karena itu proses pembelajaran sebagai upaya pelestarian nilai-nilai tradisi tidak mungkin dihindari. Zaman telah mengubah cara pandang dan tindakan umat dalam merespons perkembangan zaman itu sendiri seiring dengan perkembangan pengetahuan dan kebutuhannya. Zaman selalu menuntut umat Hindu bersama pemimpinnya merekonstruksi sebagian atau seluruh sistemasi dan diskursus keberagamaannya. Untuk itu diperlukan kejelasan kurikulum keberagamaan dan ketegasan praktiknya dalam mekanisme kontrol sosial yang ketat sehingga para pemimpin agama dan adat tidak sepenuhnya mengandalkan kekuatan ortodoksi dan kekuasaan negara.

Walaupun dalam banyak hal ortodoksi merupakan paham yang didukung penguasa, tetapi juga sering diprotes dan dibrontaki dalam dunia praksis. Ini kondisi alamiah yang mendorong perkembangan pemikiran mainstream semakin sempurna karena tegangan antara konsep-konsep univokal dan imajinasi-imajinasi ekuivokal selalu mengandaikan irasionalitas menuntut pengakuan. Kebenaran memang dapat dilihat dalam tegangan antara medan konvensional (konsensus yang koheren) dan gejala-gejala baru yang tidak konvensional (Sugiharto, 1996:21). Ini gagasan tentang idealitas yang berfungsi sebagai ide regulatif yang senantiasa memungkinkan jarak kritis terhadapnya. Dengan begitu agama Hindu konvensional tidak mandek dalam bentuk kemapanan yang tertutup, bahkan represif dan otoriter, melainkan senantiasa berada dalam tegangan dunia praksis menuju konsep yang semakin sempurna. Pada umunya idealitas muncul sebagai peristiwa-peristiwa yang tidak konvensional dalam bentuk anomali atau irasionalitas yang bukan hanya menuntut pengakuan, bahkan menggugat anggapan tentang “kenormalan” dan “kerasionalan” itu sendiri.

Kehadiran aliran-aliran keagamaan atau gerakan agama-agama baru dalam keberagamaan merupakan “irasionalitas” dan “keabnormalan” yang selalu menantang pemimpin agama untuk berpikir ulang dan berimajinasi untuk merumuskan anggapan-anggapan kebenaran agama konvensional secara baru. Ini berarti pemimpin Hindu harus merumuskan realitas keberagamaan umat Hindu secara baru. Dengan demikian konflik internal Hindu – antara agama Hindu maintream atau ortodoksi dan aliran-aliran keagamaan atau agama-agama baru – dapat dihindari dan tindakan pelarangan dengan kekuasaan negara tidak diperlukan. Selain itu, kebenaran hakiki yang diyakini oleh aliran-aliran keagamaan atau gerakan agama-agama baru yang dipandang sempalan belum tentu sempalan dan antiproduktif terhadap keberagamaan.

Krishna sendiri tidak membeda-bedakan bhakta dan bentuk pemujaan yang dilakukannya, “apapun bentuk pemujaan yang ingin dilakukan oleh para bhakta dengan penuh keyakinan, Aku menjadikan bentuk keyakinanannya itu, menjadi mantap” (Bhagavad Gita, VII:21).
Apalagi perilaku keagamaan menurut pandangan behaviorisme berkaitan erat dengan prinsip reinforcement (reward and punishment). Orang berperilaku agama karena didorong oleh rangsangan hukuman dan hadiah, yaitu menghindari hukuman (siksaan) dan mengharapkan hadiah (pahala) (Jalaluddin, 2002:211). Orang bergerak secara mekanis berdasarkan azas pemberian hukuman dan hadiah. Dalam agama dan keberagamaan keimanan umat meminta surga atau pembebasan sebagai hadiahnya. Perilaku manusia bekerja menurut atas mekanistik yang bersifat serba fisik, yakni bersifat kondisional yang dapat dibentuk dan diarahkan menurut situasi yang diberikan. Apabila yang diinginkan adalah umat Hindu berperilaku keagamaan sebagaimana ajaran agama Hindu konvensional maka lingkungan keberagamaannya harus mampu memberi respons keagamaan Hindu konvensional seperti yang diharapkan. Dengan demikian menghindari hukuman (siksaan) dan mengharapkan hadiah (pahala) bukanlah tindakan terpaksa, “bahkan orang yang bijaksana berbuat menurut sifat bijaksananya sendiri, semua makhluk juga bertindak menurut sifatnya pula, apakah yang dapat diselesaikan dengan paksa?” (Bhagavad Gita, III:33).

Memang secara humanis kebutuhan akan hadiah lebih menentukan tindakan manusia dalam berbagai aspek kehidupannya. Walaupun rasanya tidak mungkin menggambarkan kebutuhan manusia yang tidak terbatas, tetapi Abraham Maslow (Jalaluddin, 2002; Jarvis, 2007) menjelaskan kebutuhan manusia bertingkat-tingkat dari yang paling dasar hingga yang paling puncak. Pertama, kebutuhan fisiologis, yaitu kebutuhan dasar untuk hidup, seperti makan, minum, dan istirahat. Kedua, kebutuhan rasa aman yang mendorong orang untuk bebas dari rasa takut dan cemas. Ketiga, kebutuhan kasih sayang, berupa pemenuhan hubungan antarmanusia. Keempat, kebutuhan harga diri yang dimanifestasikan dalam bentuk aktualisasi diri, seperti berbuat sesuatu yang berguna. Kemudian, aktualisasi diri sebagai pengalaman puncak transenden digambarkan sebagai kondisi yang sehat super normal yang disebutnya sebagai pribadi yang lepas dari realitas fisik dan menyatu dengan kekuatan trasedental. Ini dinilainya sebagai tingkat kesempurnaan manusia sebagai pribadi yang memiliki ciri-ciri berupa kecenderungan untuk menyenangi yang benar, yang baik, dan yang indah.

Kecenderungan ini dalam Hindu bahwa Yang Benar (Sathyam), Yang Baik (Siwam), dan Yang Indah (Sundaram) merupakan Pribadi Sempurna yang diidolakan umat Hindu. Untuk mendekati cita-cita ini mungkin pemimpin Hindu yang ahli agama dan pendidikan dapat memadukan keahliannya menyusun kurikulum pendidikan Hindu yang, antara lain berisi nilai-nilai kebenaran, kebijaksanaan, dan keindahan. Pikiran yang selalu dalam kebenaran merupakan landasan bagi tindakan dalam kebijaksanaan dan keduanya memberikan indahnya kehidupan, yaitu kebahagiaan. Jadi, umat Hindu akan menikmati kebahagiaan, bila mengerti kebenaran dan memahami kebijaksanaan.

Mentransendensikan nilai-nilai ini dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari merupakan teladan terbaik, “apapun juga kebiasaan yang baik itu dilakukan, orang lain juga akan mengikutinya. Teladan apapun yang dilakukannya, dunia akan mengikutinya” (Bhagavad Gita, III:21). Memang hanya melalui pergaulan dalam persahabatan orang dapat mengasah kemanusiaannya, kualitas kesuciannya, dan memperoleh kepenuhan sempurna.
Agama memang memberikan pengalaman spiritual dan pengalaman ini selalu dimulai dengan asumsi bahwa dunia ini memang tidak memuaskan dan sifat manusia memang tidak ideal. Walaupun yuga meyakini segala sesuatu bermula dari keadaan sempurna dan dalam perkembangannya secara involusi mengalami penyusutan hingga dalam kondisi ketidaksempurnaan. Berlawanan dengan teori yuga, evolusi meyakini segala sesuatu bermula dari ketidaksempurnaan dan dalam perjalanan perkembangannya mengalami kemajuan secara bertahap hingga mencapai kesempurnaan. Namun takdir manusia sebagaimana ditegaskan Radhakrishnan (2003:99) bukanlah melarikan diri dari ketidaksempurnaan ini, tetapi menggunakannya sebagai dorongan melakukan perbaikan. Ketidaksempurnaan ditegaskan, bukanlah dosa yang harus dibuang, tetapi kondisi yang diperlukan untuk manifestasi sukma. Kesadaran akan keterbatasan digunakan sebagai jalan masuk kepada suatu ketinggian, ketakterbatasan pengalaman eksistensi-diri, dan keindahan. Umat Hindu tidak perlu mencari kesempurnaan di dunia lain, seperti disarankan pihak lain karena dunia ini adalah tempat bagi kebebasan spiritual. Memang kebebasan semacam ini hanya dapat dicapai melalui kebebasan moral, yakni rasa saling menghargai dan menghormati kepada setiap eksistensi dalam dunia sosial.

Artinya, takdir manusia harus digunakan untuk lebih memahami perbedaan cara-cara kehadiran dalam dunia sosial dan budaya yang memang tidak seragam. Keyakinan dan kepercayaan yang berbeda bukanlah untuk dipertentangkan dan diperlawankan karena alam memang telah membentuk banyak ras dengan bahasa, agama, dan tradisi sosial yang berbeda-beda. Patut disadari bahwa perbedaan ini memberikan tugas kepada manusia untuk menciptakan tatanan dalam dunia manusia dan menemukan suatu jalan hidup. Melalui jalan hidup ini kelompok-kelompok yang berbeda-beda dapat hidup berdampingan secara damai dan mengambil langkah-langkah konstruktif untuk menyelesaikan perbedaan-perbedaan di antara mereka. Dunia ini bukan dimaksudkan sebagai medan pertempuran, tetapi menjadi persemakmuran bersama melalui kerja sama untuk mencapai martabat dan kehidupan mulia bagi semua. Membangun kerja sama inilah tugas pemimpin Hindu sehingga persemakmuran bersama sampai kepada umat yang tersebar dalam sekat-sekat tradisi sosial dan budaya.

Dengan demikian diharapkan pemimpin Hindu berupaya keras mewujudkan keberagamaan dalam kondisi sosial untuk kebaikan dan kedamaian semua orang. Untuk itu diperlukan kepemimpinan religius, antara lain peran-peran yang berkaitan dengan upaya menetapkan kejelasan praktik-praktik keimanan (sradha-bhakti), menegakkan aturan moralitas (susila), menguatkan struktur komunitas (baik lembaga agama maupun adat), menyesuaikan bentuk-bentuk peribadatan (acara), dan ketegasan sistem hubungan dengan sesuatu yang bersifat transenden. Beriman kepada Tuhan berarti mengandalkan diri kepada Tuhan berdasarkan pengetahuan tentang ketuhanan, karena itu diperlukan kajian-kajian telogis, brahma widya. Aturan moral diperlukan dalam kehidupan sosial karena umat Hindu juga bagian dari masyarakat, karena itu diperlukan kajian-kajian dalam bidang etika.

Agama Hindu sebagai inti nilai kebudayaan adalah pengatur tingkah laku umat untuk saling menghargai kehadirannya masing-masing, karena itu diperlukan kajian-kajian dalam pendekatan ilmu-ilmu sosial dan huaniora serta kebudayaan. Kebudayaan yang mengkontekstualisasikan agama Hindu secara signifikan berpengaruh terhadap perilaku peribatan sehingga diperlukan penyesuaian dan adaptasi dinamis sejalan dengan situasi sosial termasuk dengan perkembangan zaman. Demikian juga beragamnya cara-cara menghubungkan diri dengan yang transenden begitu misterius karena keberjarakan antara manusia dan yang transenden bukan jarak sebagaimana akal-budi memahaminya sehingga perlu dikembalikan kepada teks-teks agama otoritatif. Dengan kejelasan sistem keberagamaan, umat Hindu sebagai bagian integral dari masyarakat Indonesia dapat berpartisipasi dalam mewujudkan dan menikmati indahnya keberagamaan di nusantara.

Penutup
Sepotong harapan yang hendak disampaikan adalah upaya melaksanakan dharma yang menurut Radhakrishnan (2003) sebagai seluruh tugas manusia berdasarkan empat tujuan kehidupan (catur purusha artha), empat kelompok lapisan sosial (catur varna), dan empat tingkatan kehidupan (catur asrama). Dharma sebagai realisasi kehormatan spiritualitas manusiawi, yakni tempat kehidupan sosial umat Hindu untuk mengenal hak anggota masyarakat untuk hidup, bekerja, dan berkembang dalam persahabatan. Tempat umat Hindu mencapai suasana kesempurnaan dan kemurnian spiritual, yaitu menuju perkembangan kondisi sosial yang mengantarkan umat Hindu pada kehidupan material, moral, dan intelektual sesuai dengan kebaikan dan kedamaian semua orang.

Akhirnya harus diterima, manusia memang makhluk religius sehingga dapat disetujui agama memang setua usia manusia. Konsekuensinya umat Hindu haruslah berpengetahuan agama dan berkesadaran agama serta mempraktikkan agama dalam semua bidang kehidupan. Keindahan agama dan kegembiraan keberagamaan merupakan surga kebebasan moral sehingga tidak dijumpai ketakutan, kengerian, kehancuran, dan kemusnahan ras manusia yang disebabkan oleh mereka yang berpengetahuan agama tanpa berkesadaran agama. Jadi, umat Hindu harus mengambil tanggung jawab sradha-bhaktinya di tangannya sendiri karena cita-cita merealisasikan ketuhanan merupakan tujuan pribadi. Untuk memahami tanggung jawab inilah umat memerlukan bantuan, bimbingan, dan dukungan pemimpin religius transformatif, kepemimpinan berdasarkan pengetahuan dan kesadaran dharma. Inilah Sepotong Harapan Buat Pemimpin Hindu di Indonesia: Pekerjaan Pengabdian.

Cakrawayu .

Imam Heru Darmawan
Pimred Intelmediabali.

Tidak ada komentar:

×
Berita Terbaru Update