Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

OPINI : Kisah Penderita Covid -19 Sambut Kematian Dengan Hati Riang

Senin, 08 Februari 2021 | Februari 08, 2021 WIB | 0 Views Last Updated 2021-02-08T01:43:49Z


Oleh :Denny JA
Senin 08 Februari 2021

Jakarta,Intelmediabali.id -“Mereka yang gembira ketika hidup,
benar- benar gembira,
juga akan gembira,
menyambut kematian.”

(Osho, 1982) (1)

Kutipan itu,
dan foto Osho,
Bagwan Shri Rajnees,
masih terpajang di dinding.

Kertasnya menguning.
Dimakan waktu.
Namun pesan yang terkandung,
Abadi.
Berkuasa atas waktu.

Ayana, nama perempuan ini.
Usia 69 tahun.
Keriput di wajah.
Letih di jiwa.

Lama Ayana terpana.
Kutipan OSHO menjadi mantra.
Ia peluk pesan itu.
Sekuat Ia bisa.

Kembali menangis itu Ayana.
Air mata menjadi telaga.

“Ampun, ya Tuhan, ampun.”
Ia menjerit di dalam bisu.
Dalam sekali.
Tanpa suara.

Hanya gema di hati.
Makin dalam itu duka.
Makin tiada itu suara.

Bulan lalu, suami wafat.
Dimangsa Virus Corona.
“Ia cahayaku,” lirih Ayana.
“Matahariku.
Rembulanku.”

Kemarin, kakak kandungnya wafat.
Juga karena Virus Corona.
“Kakakku, pelindungku.
Guruku, Sahabatku.”

Ayana benamkah wajah.
Ke bingkai Foto itu.
Foto OSHO.
“Panca, suamiku sayang
Tio, kakakku sayang.
Aku tak kuat.”

Ayana terkulai
Jatuh di lantai

Sepi
Sendiri
Dengan sisa tenaga
ia berbaring di sofa

Ditatapnya lagi
Kutipan itu
Foto itu.
OSHO.
Bagwan Shri Rajneesh.

Teringat Ia tahun 1990.
Diajak Tio.
ke India.
OSHO, sang Guru wafat.

Tio murid setia
Jumpa OSHO di Amerika (2).
Kemanapun pergi.
OSHO ada di hati.

Tio dan istrinya, Dara.
Ayana dan suaminya, Panca.
Bersama ke India.
Kunjungi Guru yang mangkat.

Betapa terpana Ayana.
Di Puri itu.
Sambil menatap Jazad Sang Guru.
Para murid suka cita.
Mereka gembira.
Bernyanyi.
Berdansa.
Senyum.
Tertawa.

Tiada duka.
Warna merah dimana- mana.

Malam hari, kembang api.
Dinyalakan.
Meriah.
Gendang ditabuh.
Kematian dirayakan
Festival dihidangkan

“Kok begini, Kak?”
Tanya Ayana terpaku.
“Mengapa kematian
disambut riang?

Mengapa datangnya ajal,
tiada air mata?”

Berulang- ulang diputar.
Rekaman ajaran Sang Guru.

“Hidup itu pemberian.
Kita tak minta.
Rayakanlah”

“Mati itu juga pemberian.
Kita tak minta.
Rayakan juga.”

“Betapa selama ini.
Kita tersesat.
Berduka pada kematian.
Padahal itu puncak kehidupan.”

Kembali Ayana terpana.
“Kak, kok aneh?”

Tio, sang kakak hanya senyum.
Ujar kakak,
“Buka hati
Buka mata.
Buka telinga
Tapi kunci bibir.
Renungkan saja.”

Kini, di sini
Ayana inginkan itu
Keriangan.
Gembira.
Walau hadapi kematian.

Ditinggal Panca, sang suami
Ditinggal Tio, Kakak sulung.
Dua kematian, satu bulan.
Dua tiang besarnya patah.

Berat menindih-nindih.
Nafas tersumbat
Goyah.

-000-

Desember 2020.
Ayana tak siap.
Suami terpapar Corona.
Hanya lima hari.
Suami wafat.

Sungguh Ayana tak bisa riang.
Seperti di India itu.

Berkali- kali Ayana menangis.
Perih tak terkira.
Kaki tak bersendi.
Tangan tak bertulang.

Dalam pelukan sang kakak,Tio,
Sang pelindung, sahabat,
Guru,
Ayana bersandar.

Setiap malam,
Tio, sang kakak berkunjung.

“Kakak, bantu aku.
Aku hampa
Hilang makna
Redup matahariku.”

“Dengar, Dik,” sapa Tio.
“Panca suamimu itu sungai.
Ia mengalir ke samudera.
Di samudera, tiada lagi sungai.
Ia menyatu dengan samudera.”

“Apa yang membuatmu duka?
Bukankah air sungai itu.
Kini suka ria?
Ia dipeluk samudera
lebih bebas
Lebih luas.
Lebih dalam.”

“Dik, dirimu duka.
Karena bergantung terlalu kuat.
Terikat pada memori.
Lepaskan, Dik.

Ayana paham itu.
Tapi ini insting lebih purba.
Duka lebih perkasa.
Air mata tak henti.

-000-

Kini, Febuari 2021.
Tio sang Kakak pergi.
Pergi pula tempat Ayana bersandar.

Virus Corona terlalu.
Tak menghitung hati yang pilu
Ayana masih tertatih.
Belum mampu berdiri.
Ditimpa lagi.

Dua jam sebelum kematian.
Tio terkulai di ruang.
Di rumah sakit yang letih

“Dokter, ujar Tio
“tolong hubungi istri saya.
Ajal tak lagi lama.
Bantu saya menyambutnya.

Tio minta telfon genggam.
Terhubung dengan istrinya, Dara.
Melalui video call.

Dokter terpana
Tio berduet dengan istrinya
Menyanyi dengan khidmat
Dengan hati yang haru.
Lagu the Prayer.

Ayana juga di sana.
Ia disamping Dara.
Hanya mendengar saja.
Dan tumpah air mata.

Ayana tak sekuat Dara.

Dari handphone.
Ditatapnya Tio.
Hati berdoa.
“Kakakku, sayang.
Sehatlah.”

Dengan selang dihidung.
Nafas yang terengah.
Mata Tio masih menyala.
Hatinya,apa lagi.

Tio dan Dara pun duet:

“I pray you'll be our eyes
And watch us where we go
And help us to be wise
In times when we don't know

Let this be our prayer
when we lose our way

Lead us to a place
Guide us with your grace
To a place where we'll be safe

(Saya berdoa
DiriMu menjadi mata kami.
Perhatikanlah kami.
kemanapun kami pergi.
Bantu kami menjadi bijak.
Di saat kami tak tahu.

Biarlah Ini menjadi doa.
saat kami tersesat.

Pimpin kami ke suatu tempat.
Bimbing kami.
dengan rahmatMu.
Ke tempat dimana kami damai). (3)

Dua Jam kemudian,
Tio wafat
dengan senyum
Hati yang riang.

-000-

Tiga hari sudah.
Ayana di kamar saja.
Mengurung diri.
Anak dan cucu gelisah.

“Sehatlah, Ibu,” doa anak anak.
Gembira lagi, Nenek,” doa para cucu.

Di kamar
Ayana tapa brata.
Meditasi.
Merenung.
Berdoa.
Sendiri saja.

Hening.
Sepi.
Hilang dari ruang.
Hilang dari waktu.

Jiwa di dada.
Bersatu dengan Jiwa di langit.

Pagi itu.
Ayana keluar kamar.
Ia mainkan gitar.
Ia bernyanyi.

Ditatapnya kutipan itu.
OSHO.
Bagwan Shri Rajneesh.
Menempel di dinding selalu

“Mereka yang hidupnya gembira,
benar- benar gembira,
Juga akan gembira,
menyambut kematian.”

Ayana kini gembira.
Ia lahir kembali.

Febuari 2021

Catatan

1. OSHO, guru spiritual dari India mengajarkan para pendengarnya untuk juga merayakan kematian dengan suka cita

https://youtu.be/20jZW1Ak94g

2. OSHO sempat tinggal membuka Padepokan spiritual di Oregan, Amerika Serikat.

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Rajneesh


3. Tio, sang Penderita Covid-19 bernyanyi lagu prayer, duet dengan istrinya lewat Video Call Handphone, beberapa jam sebelum ajal, diinspirasi oleh kisah sebenarnya: Hendarmin Ranadireksa.

Kisah ini sepenuhnya fiksi, walau diinspirasi oleh peristiwa nyata.
Kisah Tio soal OSHO tak ada hubungan dengan kisah Hendarmin Ranadireksa.( RED)




Tidak ada komentar:

×
Berita Terbaru Update